Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Paotere, Pelabuhan Kapal Phinisi Sejak Abad 14

29 Maret 2016   10:29 Diperbarui: 29 Maret 2016   17:48 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pelabuhan Poatere Kapal Phinisi, Sejak Abad ke 14. Dokpri"][/caption]Saat sedang menikmati makan pagi, tiba-tiba notifikasi WA di hape saya menyala. “Saya sudah di parkiran hotel” tulis Liza Monalisa, traveller yang kemarin saya kenal di pantai Losari. “Siap, saya ambil kamera dulu di kamar,” balas saya lewat WA.

Jumat pagi itu (25/3/2016), kami berencana untuk berwisata ke Rammang Rammang, Maros sebelah Utara Makassar. Namun, sebelum ke wisata alam pegunungan karst itu, kami singgah di pelabuhan rakyat Paotere dan pasar ikannya.

Dari pantai Losari ke Paotere hanya berjarak 3 kilometer. Pagi itu, sekitar jam 06.30 wita, akses menuju ke palabuhan Paotere sangat padat merayap. “Macet pak jalannya,” celetuk saya kepada pak Aris, sopir kami. “Ini kan hari libur. Banyak orang ingin beli ikan untuk pesta. Makanya, lalu lintas padat ramai,” kata pak Aris, yang sudah hafal dengan suasana lalu lintas pada hari libur. Mobil Avanza putihnya, dikemudikan dengan sabar dan tenang. Akhirnya kami tiba di pintu masuk pelabuhan Paotere.

[caption caption="Jual Ikan Asin. Dokpri"]

[/caption]Sepanjang jalan  lorong menuju ke Poatere, saya tertarik dengan kios-kios yang berjualan ikan asin di pinggir jalan. Tampak ikan kerapu, baronang, dan lainnya berukuran besar menggelantung di kios itu. “Di Jakarta, kerapu harganya mahal di sini cuma jadi ikan asin,” komentar Liza sedikit iba.

“Mau kemana pak?” tanya petugas tak berseragam yang berdiri di pintu masuk Pelindo IV Unit Paotere. “Kami mau jalan-jalan sambil motret,” ujar pak Aris dengan logat Makassarnya. “Tiket masuknya 17 ribu pak,” ujar petugas setelah menghitung jumlah penumpang.

Saat mobil parkir di pelabuhan, saya melihat suasana pelabuhan di pagi hari sudah ramai. Banyak kapal kayu (Phinisi) sedang bersandar. Kapal-kapal Phinisi itu berukuran besar dan kira-kira tingginya lebih dari pohon yang tumbuh di pinggir pelabuhan. Liza langsung bergerak sendiri untuk memotret suasana pelabuhan Poatere dari berbagai sudut.

[caption caption="Karung Bawang Merah, dibongkar muat. Dokpri"]

[/caption]Aktivitas bongkar muat barang sedang terjadi di pelabuhan yang memiliki lebih dari 8 dermaga. Saya melihat tumpukan karung-karung berisi bawang merah sudah siap dibawa ke truk-truk yang parkir di bibir pelabuhan. Tak hanya itu, saya sempat melihat tumpukan zak semen di bak truk di pinggir dermaga. Saya pikir semen ini didatangkan dari Jawa. Tapi ternyata salah.

“Semen itu akan dikirim ke Labuan Bajo” jelas pak Supardi, pria berdarah Bone, nahkoda yang sedang duduk santai di dermaga dekat kapal Phinisinya yang terbuat dari kayu Ulin seharga lebih dari 2 milyard rupiah. Saya pun tergerak untuk ikut duduk di sebelahnya sambil mendengarkan kisah pelayarannya.

Kemudian pak Pardi berkisah. Ada 800 sak semen Tonasa yang akan saya bawa dengan kapal hari ini. Butuh 2 hari 2 malam berlayar hingga tiba di Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Awak kapal saya ada 8 orang. Dalam sebulan saya hanya dua kali bisa berkumpul dengan keluarga. Itulah resiko sebagai pelaut Bugis. Dari Labuan Bajo ke Makasar biasanya kami membawa rempah-rempah dan kayu. “Tapi kayu sekarang sudah susah didapat,” kunci pak Pardi.

[caption caption="800 sak semen siap dikirim ke Labuhan Bajo. Dokpri"]

[/caption]Dalam mengarungi samudera, Pak Pardi berpegang pada falsafah para pelaut Makassar,  “Takunjunga' Bangunturu', Nakugunciri Gulingku, Kualleanna Tallanga Na Toalia,” artinya adalah tidak begitu saja aku ikut angin buritan, dan aku putar kemudiku, lebih baik aku pilih tenggelam dari pada balik haluan.  Le'ba Kusoronna Biseangku, Kucampa'na Sombalakku, Tamammelokka Punna Teai Labuang yang artinya ketika perahuku kudorong, ketika layarku kupasang, aku takkan menggulungnya kalau bukan labuhan.

[caption caption="Kampung Nelayan. Dokpri"]

[/caption]Dari sepenggal kisah Pak Supardi tadi, saya bisa merasakan adanya aura “sejarah” di setiap kapal rakyat khas Makassar yang sedang berlabuh di Paotere. Konon pada abad ke 14, nama Makassar sudah tertulis di kitab Nagarakretagama, buah karya Mpu Prapanca , sebagai daerah yang ditaklukkan Majapahit. Selanjutnya, kerja keras Raja Gowa ke 9, Tumaparisi Kallonna (1510-1546) menjadikan Makassar sebagai kota perdagangan yang terbesar di Indonesia Timur bahkan di Asia Tenggara termasuk monopoli perdagangan rempah-rempah VOC (Belanda) semakin menguatkan perniagaan Indonesia Timur. Tak urung, pelabuhan Makassar menjadi incaran perniagaan para pedagang dari Eropa dan Arab yang berkompetisi dengan pedagang Melayu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun