KPR dan Kelas Sosial: Apakah Membeli Rumah Menandakan 'Naik Kelas'?
Oleh: Julianda Boang Manalu
Di banyak perbincangan seputar rumah dan properti, KPR seringkali dibahas dari sisi teknis---bunga, tenor, akad, dan kondisi rumah. Namun, di balik itu, ada narasi kuat yang melatarbelakangi: KPR sering dilihat sebagai penanda bahwa seseorang telah "naik kelas". Apa sebenarnya yang tersirat?
Rumah bukan sekadar hunian. Ia adalah simbol stabilitas dan kemapanan finansial.Â
Budaya kita, dalam banyak hal, mendorong pemahaman bahwa seseorang yang berhasil membeli rumah---apalagi dengan skema KPR---telah mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik dibanding sekadar menyewa atau ngontrak.Â
Sebatas untuk kebutuhan sandang dan pangan? Lebih dari itu: itu adalah soal identitas, kredibilitas sosial, dan pengakuan dari lingkungan. Mengalokasikan puluhan juta rupiah tiap bulan untuk kepemilikan properti dianggap bukan lagi beban, melainkan instrumen untuk membentuk citra diri yang "berhasil".
Secara historis, memiliki rumah dianggap indikator utama mobilitas kelas sosial. Di tahun 1950--1970-an di banyak kota besar Indonesia, kepemilikan rumah---apalagi di perumahan resmi---adalah buktinya berhasil berpindah dari kelas pekerja kasar ke kelas menengah. Ada doktrin tak tertulis: "Kalau belum ada rumah, berarti belum mapan."
Kini di era digital dan globalisasi, meski dunia makin mobile, kebutuhan akan kepastian tempat tinggal tetap kuat. Terlebih bagi milenial dan Gen Z. Lewat KPR, generasi ini memiliki jalan menuju kepemilikan aset.Â
Padahal, bukan sekadar soal hunian, tapi tentang skill mengakses kredit, mampu merencanakan anggaran jangka panjang, dan bersikap disiplin finansial---seluruhnya dianggap ciri anak muda sukses.
Sisi menarik tentang memakai KPR sebagai tolak ukur kelas sosial adalah bahwa ia bisa menyesatkan. Ada generasi milenial dan pekerja profesional yang mereka tampak sukses di media sosial: rumah besar, interior estetik, cicilan lancar.Â
Tapi apakah kesehariannya mencerminkan "naik kelas" secara substansial?