Gaza Bukan Properti Kosong: Menolak Imperialisme Gaya Baru
 Oleh: Julianda BM
Ketika Donald Trump kembali membuat pernyataan kontroversial pada 15 Mei 2025 di Doha, Qatar, sebagian besar publik dunia mungkin hanya memandangnya sebagai aksi panggung politik belaka.Â
Namun, bagi mereka yang memahami konteks dan dampaknya, ucapan tersebut bukan hal remeh. Trump secara terbuka mengusulkan agar Amerika Serikat "mengambil alih" Jalur Gaza dan menjadikannya sebagai "zona kebebasan"---atau lebih ambisius lagi---sebagai "Riviera di Timur Tengah".
Pernyataan tersebut bukan hanya mencerminkan gaya kepemimpinan populis Trump yang nyeleneh. Lebih dari itu, pernyataan ini mengandung substansi kolonialisme dalam bungkus modern.Â
Ia membawa cara pandang yang amat berbahaya: Gaza bukan lagi dianggap sebagai tanah air suatu bangsa, melainkan sebagai properti kosong yang bisa diambil, dimiliki, dan dikembangkan seperti proyek properti milik konglomerat.
Bagi rakyat Palestina, tanah adalah identitas. Gaza bukan sekadar lahan; ia adalah rumah, sejarah, dan saksi dari perjuangan panjang melawan penjajahan dan pendudukan.Â
Menganggap Gaza sebagai ruang kosong yang bisa dimiliki oleh kekuatan asing adalah bentuk nyata dari penyangkalan atas hak-hak paling dasar sebuah bangsa.
Selama beberapa dekade, Palestina telah menjadi simbol perjuangan bagi kebebasan dan keadilan. Rakyatnya terusir, terpinggirkan, dan dibungkam dalam berbagai bentuk.Â
Namun, penderitaan tersebut tidak menjadikan tanah mereka kehilangan nilai---baik secara hukum, sejarah, maupun moral. Gaza tetaplah bagian dari Palestina, sebagaimana diakui oleh berbagai resolusi internasional.
Ketika Trump menyebut bahwa Amerika Serikat bisa "memiliki" Gaza demi menjadikannya zona bebas, kita tidak hanya menyaksikan arogansi politik. Kita juga menyaksikan kemunculan imperialisme gaya baru: menjajah bukan lagi dengan tentara, tetapi dengan retorika pembangunan.