Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kearifan Lokal: Warisan atau Kostum Politik?

19 Mei 2025   15:38 Diperbarui: 19 Mei 2025   15:38 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: https://fajiramedia.blogspot.com/2022/10/dedi-mulyadi-pepet-gadis-cantik-asal.html)

Kearifan Lokal: Warisan atau Kostum Politik?

 

Oleh: Julianda BM

Beberapa waktu terakhir, jagat media sosial diramaikan dengan sosok Kang Dedi Mulyadi. Gubernur Jawa Barat terpilih ini kerap tampil dengan iket Sunda di kepala, bersarung, dan berbicara dalam bahasa ibu. Ia menyusuri pelosok desa, menyapa rakyat kecil, dan membawa narasi leluhur Sunda ke ruang publik modern.

Pertanyaannya sederhana: apakah ini bentuk pelestarian budaya, atau sekadar pencitraan politik?

Antara Autentisitas dan Gimmick

Politik Indonesia punya sejarah panjang soal simbol. Bung Karno dengan blangkon-nya, Gus Dur dengan peci dan humor keagamaan, hingga Jokowi dengan blusukan dan baju putih khasnya. Kini, Dedi Mulyadi muncul sebagai "duta budaya Sunda" dalam balutan politik.

Ia bukan hanya mengenakan budaya; ia menjadikannya identitas politik. Tapi di sinilah tarik-menarik terjadi. Di satu sisi, masyarakat merindukan pemimpin yang membumi---yang tidak malu pada akar, dan bangga akan kearifan lokal. Di sisi lain, kita juga harus waspada ketika budaya berubah fungsi: dari warisan menjadi alat elektoral.

Citra dan Realita

Penelitian menunjukkan bahwa pendekatan simbolik semacam ini efektif. Branding berbasis budaya memperkuat kedekatan emosional antara politisi dan pemilih (Fatmawati, 2018). Media pun berperan dalam membentuk citra ini, seperti yang terjadi di Pilgub Jatim 2013 ketika pasangan tertentu mendapat liputan khusus yang membentuk opini publik (Azizi, 2014).

Namun, citra harus ditopang realita. Bila simbol budaya hanya dipakai saat kampanye, tapi absen dalam kebijakan publik---maka kita sedang menonton politik berkostum, bukan pelestarian sejati.

Kita Butuh Pemimpin, Bukan Pemeran

Budaya bukan dekorasi. Ia adalah jiwa masyarakat, bukan latar panggung kampanye. Jika Dedi Mulyadi benar ingin mengangkat nilai-nilai Sunda, maka pelestarian harus nyata: kurikulum budaya di sekolah, pelindungan cagar budaya, hingga insentif untuk seniman tradisional.

Dan kita sebagai publik pun punya PR: jangan cepat terpesona oleh simbol. Tanyakan selalu: apakah ia hanya tampil sebagai aktor, atau sungguh membawa perubahan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun