Gaya Hidup Hijau, Cuma Gimik?
Oleh: Julianda BM
Setiap 22 April, linimasa media sosial kita berubah jadi ladang kepedulian. Ada yang unggah foto menanam pohon, membersihkan pantai, membawa tumbler, atau menggunakan tas belanja kain. Semua ingin berkontribusi dalam merayakan Hari Bumi. Namun, pertanyaannya: apakah itu semua benar-benar bentuk kepedulian terhadap lingkungan, atau hanya gimik yang terlihat hijau di permukaan?
Gaya hidup ramah lingkungan kini tak lagi eksklusif untuk para aktivis lingkungan. Ia telah menjadi bagian dari tren gaya hidup modern. Semakin banyak orang yang menyebut dirinya peduli lingkungan karena sudah memakai sedotan stainless atau menghindari kantong plastik sekali pakai. Sayangnya, kepedulian ini seringkali berhenti pada simbol. Tindakan yang dilakukan cenderung bersifat kosmetik, dan lebih difokuskan untuk tampilan luar ketimbang perubahan pola hidup yang nyata.
Fenomena ini kerap disebut sebagai greenwashing---konsep yang awalnya digunakan untuk menggambarkan perusahaan yang seolah-olah ramah lingkungan padahal tidak. Namun kini, greenwashing juga relevan pada skala rumah tangga dan individu. Banyak dari kita terjebak pada gaya hidup "hijau palsu": terlihat peduli, tapi tak berdampak signifikan pada lingkungan.
Misalnya, seseorang merasa cukup ramah lingkungan karena membawa botol minum sendiri. Namun, di saat yang sama, ia juga belanja online hampir setiap hari---menghasilkan sampah plastik dari kemasan, emisi dari pengiriman, dan konsumsi berlebihan yang bertolak belakang dengan prinsip keberlanjutan. Begitu pula dengan kebiasaan memamerkan hasil daur ulang atau kompos, namun tetap rajin membeli produk-produk konsumtif yang tak benar-benar dibutuhkan.
Ada paradoks dalam tren ini: semakin kita sibuk mempercantik gaya hidup hijau kita, semakin kita menjauh dari dampak nyata yang seharusnya dihasilkan. Dan ironisnya, semakin estetis gaya hidup hijau kita ditampilkan, semakin besar kemungkinan itu hanyalah pencitraan.
Bukan berarti tindakan-tindakan kecil ini salah. Tidak. Mengurangi penggunaan plastik, mendaur ulang sampah, hingga menanam pohon adalah langkah yang baik dan penting. Namun, jika semua itu dilakukan hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial atau sekadar merasa sudah cukup peduli, maka kita kehilangan makna utama dari perjuangan lingkungan.
Data menunjukkan bahwa tantangan lingkungan hidup tidak akan selesai dengan aksi simbolik saja. Menurut laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan lebih dari 69,7 juta ton sampah pada tahun 2023, di mana sebagian besar berasal dari rumah tangga. Ini artinya, masalah ada di dapur dan ruang keluarga kita sendiri.
Perubahan iklim, deforestasi, krisis air, dan pencemaran laut bukan hanya masalah global, tetapi juga hasil dari kebiasaan harian kita. Kita menuntut perubahan dari perusahaan besar atau pemerintah, tapi enggan bercermin pada konsumsi pribadi yang tak terkendali.
Hari Bumi seharusnya menjadi momentum refleksi. Apakah gaya hidup kita selama ini benar-benar berkelanjutan, atau hanya ilusi keberlanjutan yang dibentuk oleh tren dan media sosial?