Mohon tunggu...
Lori Mora
Lori Mora Mohon Tunggu... -

Menulis adalah dua kali lipat dari belajar...\r\n#columnist pemula \r\n#pekerja\r\n#observer\r\n#pelajar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Claustrum dan Silentium

27 Mei 2013   11:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:58 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1369629157355662958

[caption id="attachment_256170" align="aligncenter" width="300" caption="Absolutely Silent"][/caption] Oleh: Lori Mora

Istilah claustrum berasal dari bahasa Latin yang mengandung makna “ruang tertutup” – sebuah ruang yang juga dimaknai sebagai ruang sempit.

Pada hakikatnya manusia memiliki sifat ingin bebas. Seperti pendapat Sartre bahwa manusia itu adalah kebebasan itu sendiri. Yang artinya bahwa manusia memiliki kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri tanpaintervensi dari pihak lain.

Sartre mengumumkan tentang kecemasan manusia yang digambarkan melalui kebebasannya untuk memilih ketika diperhadapkan pada suatu persoalan.Hanya ada dua pilihan “Iya” atau “Tidak”.

Kebebasan yang dimiliki manusia adalah sebuah pilihan yang harus diputuskan sendiri. Seperti analogi ketika manusia harus diperhadapkan pada satu jurang. Manusia berhak menentukan pilihan dan keputusan bagi dirinya sendiri tanpa dipengaruhi oleh orang lain.

Dalam kasus ini, manusia berhak memilih untuk tetap hidup bila ia memilih untuk mundur dari jurang dan menjauhi jurang atau mati bila ingin mengambil keputusan untuk terjun ke jurang tersebut.

Claustrum ini acapkali melanggar kebebasan itu. Claustrum dimana manusia harus terpaksa memilih untuk tidak hidup bahagia, memaksa untuk teralienasi dan tersudut dalam ruang yang sempit dan gelap.

Ungkapan teori Sartre yang melegenda melalui pemikiran eksistensialisme-nya dengan diktumnya menyatakan bahwa “human is condemned to be free” atau manusia dikutuk untuk bebas maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak.

Ruang tertutup yang disebutkan disini adalah ruang kosong yang sempit dan pengap dimana akan sangat sulit bagi seseorang untuk tumbuh berkembang dan memandang dunia dari perspektif yang lebih luas.

Lalu apa pengaruhnya claustrum dengan silentium?Silentium dipengaruhi oleh kesepian yang dialami oleh seseorang secara mutlak.Terminologi silentium berasal dari kata “sileō” atau silence yang artinya diam.Jadi dapat diartikan secara umum sebagai sebuah ketenangan atau kediaman dan perenungan panjang yang dialami oleh seorang pribadi.

Ingatkah kita tentang seorang Budha Sidharta Gautama yang mengadakan pertapaan panjangnya.Dengan menjauhkan diri dari dunia sosial dan mencoba mencari kebijakan di Hutan Uruwela selama 6 tahun lamanya dan di bawah pohon Bodhi hingga ia mencapai pencerahan sempurna sebagai Budha yang Maha Agung? Analoginya demikian, ketika claustrum menekan dan menempatkan seorang pribadi pada situasi dimana tak ada seorang manusia pun yang memahami akan apa yang dipikirkannya, maka seorang mencoba untuk menarik benang merah dari segala problematika kejiwaannya. Dari situasi itu, seseorang akan lebih berfikir jernih dalam menanggapi paradoks baik yang menghadangnya ataupun sebuah paradigma menyimpang yang dianut oleh banyak orang.

Ketika mengalami silentium, kebijakan adalah tujuan utama yang harus dicapai.Berusaha memaknakan diri dalam posisinya sebagai mahluk hidup yang berakal dan melihat penomena yang terjadi dari perspektif yang positif dan logis. Mungkin terkesan sangat subjektif atau mengandalkan kemampuan logika sendiri.Namun dalam kasus mengalami silentium, satu fondasi yang juga harus diikut sertakan adalah ilham.

Dimana silentium terjadi memang tak selamanya diakibatnya oleh claustrum, juga dapat sebaliknya seperti Budha Sidharta yang mencoba menjalani pertapaan panjang dengan menciptakan claustrum sendiri dan jauh dari dunia terbuka yang sudah sangat konvensional.

Arus balik yang akan dicapai dari kedua hal ini adalah pengenalan diri secara total dan kebebasan menentukan tujuan, pilihan dan prinsip hidup.

Biasanya orang-orang yang mengalami persoalan seperti ini adalah mereka yang menyukai pembelajaran hidup, mencari makna hidup sejati untuk menciptakan nilai hidup yang berarti bagi sebuah kesempurnaan dan sumber kebijaksanaan dan pemahaman akan keberadaan sesama yang diciptakanNya.

Silentium lebih dikenal dengan “berdiam diri”, menghindari diri dari konsep dan perspektif dunia dalam menghadapi sebuah kompleksitas yang ribet dan terkesan sebagai luka batin sebagai akibat dari sebuah action.

Seorang yang berfikir bahwa claustrum sebagai hal positiflah yang akan survive dengan memanfaatkannya sebagai ruang senggang untuk mencapai kebijakan.Bagaimanapun pahitnya dan sakitnya pertapaan sang Budha, akhirnya ia menemukan bahwa kepahitan akan membentuk kebijakan yang sempurna.

Bicara tentang kebebasan, teringat dengan iklan salah satu provider yang baru-baru ini selalu melintas dilayar kaca televisi kita.Ingat bukan:

“Kebebasan itu omong kosong. Katanya bebas berteman dengan siapa saja, asal orang tua suka. Katanya jadi laki-laki itu jangan pernah takut gagal,tapi juga jangan bodoh untuk ngambil resiko. Mendingan kerja dulu cari pengalaman. Katanya urusan jodoh sepenuhnya ada di tangan, asalkan dari keluarga terpandang, gak cuma cantik, tapi juga santun, berpendidikan… Katanya jaman sekarang pilihan itu gak ada batasnya, Selama mengikuti pilihan yang ada. Always On… Bebas itu nyata..”

Kebebasan tergantung pilihan yang ada. Tuhan pun memberi kita pilihan untuk memilih yang terbaik artinya bebas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun