Mohon tunggu...
Juma Darmapoetra
Juma Darmapoetra Mohon Tunggu... lainnya -

"menghormati berarti menghargai, menghargai tak harus mengagumi dan mengagumi tak perlu menjadi." "Mantan" Penulis Freelance di beberapa Media Massa.

Selanjutnya

Tutup

Nature

EKOFEMINISME DAN KRISIS LINGKUNGAN

2 Maret 2013   05:01 Diperbarui: 4 April 2017   17:15 7096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Isu kerusakan alam beserta ekologinya merupakan isu hangat dunia modern. Ancaman global warming akibat ketidakseimbangan manusia berinteraksi dengan lingkungan mengakibatkan bumi semakin terdesak arogansi manusia. Ekpsploitasi dan “pemerkosaan” lingkungan telah begitu sistematis dilakukan manusia. Gerakan feminis memandang kerusakan lingkungan berbanding lurus dengan kasus eksploitasi terhadap perempuan, sehingga kalagan feminis menganggap bahwa untuk menyelamatkan alam, perempuan harus dilibatkan di dalamnya. Perempuan harus diangkat derajatnya untuk bersama menyelamatkan lingkungan.

Gerakan feminis yang mengusung kesetaraan dalam menyelamatkan lingkungan disebut ekofeminisme, sebuah gerakan yang berusaha menciptakan dan menjaga kelestarian alam dan lingkungan dengan berbasis feminitas/perempuan. Perempuan dianggap memainkan peran strategis dalam upaya mencegah atau setidaknya menciptakan lingkungan alam yang nyaman dan asri.

Gerakan ekofeminisme pertama kali muncul dari seorang tokoh feminis yang bernama Francoise d’Eaubonne pada tahun 1974 melalui sebuah bukunya “Le Feminisme ou Lamort”. Melalui buku itu, Francoise mencoba menggugah, mensugesti dan mengetuk hati nurani kalangan feminis untuk lebih memperhatikan alamnya yang semakin lama menunjukkan krisis berkepanjangan, tidak menemukan atau mendapatkan jalan metode penyelesaian terbaik. Padahal fenomena ini adalah tangan panjang dari ulah jail kaum maskulin yang hegemonis dan eksploitatif.

Gerakan ekofeminisme berangkat dari sebuah asumsi bahwa aksploitasi dan hegemonis- ekspansif atas alam, berparalel dengan kasus yang terjadi pada kaum perempuan. Perempuan mengalami subordinasi dalam struktur kehidupannya, baik social, ekonomi, budaya, dan politik, didobrak dengan gerakan yang menempatkan perempuan sebagai aktor utamanya. Menurut Francoise (1974) bahwa ada hubungan antara opresi yang terjadi pada perempuan dan opresi yang terjadi pada alam.

Dalam tataran ekologisnya, ekofeminisme seringkali diartikan sebagia sebuah teori dan gerakan (movement) etika lingkungan yang berusaha mendobrak etika lingkungan pada umumnya yang bersifat antroposentrisme. Dimana dimensi maskulinitas diletakkan pada posisi nomor satu di dalam pertimbangan moral dan etisnya. Disamping itu, gerakan ekofeminisme juga berusaha menggelontorkan dan mengkritik teori androsentrisme, sebuah teori lingkungan hidup yang berpusat pada kaum laki-laki. Laki-laki diletakkan sebagai pusat dari setiap pola dan system yang ada dalam kehidupan.

Dalam hal ini Karren J. Warren pada era 80-an berpendapat bahwa logika konseptual yang dibangun androsentrisme yang bertipikal menindas dan mengeksploitasi memiliki empat ciri utama: pertama berpikir tentang nilai secara hierarkis. Kedua, dualisme yang melakukan penilaian moral dalam kerangka dualistis (laki-laki vs perempuan dan manusia vs alam). Ketiga, logika dominasi, yaitu struktur dan paradigma berpikir yang cenderung membenarkan dominasi dan subordinasi. Keempat, pemecahan masalah ekologi harus menyertakan perspektif feminis.

Logika dan filsafat antroposentrisme dan androsentrisme telah menjadikan tatanan dan system ekologis alam terancam eksistensinya. Karena kedua berangkat dari filsafat dan logika akosentrisme yang banyak menekankan dominasi, manipulasi dan eksploitasi terhadap alam. Menurut logika ini, manusia telah dididik untuk saling menjegal, saling menghegemoni dan saling jarah-menjarah. Manusia dididik hidup dalam sebuah system dimana “aku mengeksploitasi, aku merusak dan aku menjajah, maka aku ada”. Hal ini sejajar dengan hukum rimba (homo homini lupus) dimana yang kuat, yang mengeksploitasi dan yang memperkosa (alam) berarti dialah penguasanya dan dialah yang hidup. Padahal berbagai kalangan dan di dalam ajaran agama pun (termasuk islam) tidak ada yang menjustifikasi akan paradigma berpikir yang ekspansif, eksploitatif dan hegemonis, baik terhadap alam, hewan atau manusia.

Alam yang bersifat lembut, penuh kasih sayang dan pengasuhan dan pemeliharaan juga dimiliki oleh kaum perempuan. Di dalam ajaran agama (islam) bahwa al-quran telah memosisikan kaum perempuan memiliki kesamaan sifat dengan alam. Hal ini tampak dari metafor yang digunakan al-Quran, bahwa kata nisa’ (perempuan) seringkali bermain dengan kata hartsun atau ardlun (tanah atau bumi). Tetapi kali in penulis tidak mau terlalu jauh membahas dari perspektif agama,melainkan dari sudut feminitas.

Melihat fenomena alam yang terjadi, ekofeminisme akan dan telah menawarkan sebuah cara pandang yang holistik, pluralis dan inklusif yang mementingkan adanya hubungan yang seimbang (equiblirium) antara kaum laki-laki dan perempuan. Mereka sama-sama berkewajiban merawat, menjaga dan memelihara lingkungan tanpa ada tendensi untuk merusak dan mengeksploitasi alam dan ekologinya.

Lebih dari itu gerakan ekofeminisme akan berusaha menjadikan masyarakat berada dalam frame bahwa perempuan juga memiliki kemampuan untuk menjaga dan merawat kelestarian lingkungan hidup, planet dan buminya. Menurut Nina Andriana ekofeminisme melihat masalah sosial, kultural dan struktural, yang berupa dominasi yang sangat kuat dalam relasi antar kelompok manusia dan relasi dengan alam-lingkungannya yang dapat mengakibatkan banyaknya penderitaan bagi manusia sendiri, baik berupa perang ataupun kehancuran lingkungan hidupnya.

Dalam konteks ini, ekofeminisme menjanjikan harapan akan adanya jalan penyelamatan krisis ekologi yang semakin melaju kencang. Karena nuansa semangatnya di dalam menghormati hak-hak kesetaraan dan keseimbangan alam-lingkungan. Ekofeminisme juga mempertimbangkan ide-ide dan semangat kaum hawa berupa kecintaan alam dalam mengambil kebijakan dan langkah yang berhubungan dengan banyak orang. Karena selama ini kebijakan yang keluar dari budaya patriarkhat seringkali memperlihatkan tidak adanya sensitifitas terhadap ekologi. Hal ini bertentangan dengan semangat feminitas dalam logika ekofeminisme.

Satu contoh gerakan ekofeminisme yang (dianggap) telah dapat menekan laju tingkat kerusakan lingkungan adalah Satu gerakan yang pernah dilakukan perempuan Wangari Maathai dari Kenya yang kemudian mendapatkan hadiah Nobel untuk bidang ekologi, karena inisiatifnya dalam mempelopori gerakan penanaman pohon untuk seluruh perempuan di Kenya. (tropikaindonesia.com)

Gerakan penyelamatan lingkungan berbasis perempuan bukanlah sebuah utopia semata. Karena setiap individu; lelaki dan perempuan sama-sama memiliki kewajiban menyelamatkan bumi. Keterlibatan perempuan dalam gerakan ekofeminisme sangat perlu mendapatkan apresiasi dan dijadikan jalan alternatif, dalam upaya menekan laju kerusakan lingkungan beserta ekologinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun