Mohon tunggu...
Lona Hutapea
Lona Hutapea Mohon Tunggu... Wiraswasta - Student

Lifelong learner. Memoirist.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

15 Mei - Pattimura di Mata Saya

15 Mei 2011   05:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:40 5289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_109659" align="aligncenter" width="640" caption="Tugu Pattimura di Pusat Kota Ambon (photo by Arthur Manuputty)"][/caption]

'Pahlawan perkasa, pahlawan Pattimura; Pahlawan cengkeh dan pala

Menentang penjajah, bela rakyat jelata; Citakan negara merdeka

Parang salawaku, kain berang di tubuh; Perlambang jiwa rakyat Maluku

Serentak mendadak dengan gagah perkasa; Penjajah hancur binasa

Penjajah memakai tipu daya; Diajak berunding berbicara

Akhirnya ditangkap dan disiksa; Digantung karena nusa bangsa

Kapitan perkasa, Kapitan Pattimura;Kapitan penggerak bangsa

Martha Tiahahu dengan Latumahina; Anthoni Rhebok, Said Perintah

Pantang mundur jejak tapi maju serentak; Memusnahkan penjajah angkara

Meyakin percaya Indonesia merdeka; Proklamasi empat lima

Bersatu pemuda nusa bangsa; Pattimura-Pattimura muda

Jayakan negara Indonesia; Abadi hingga akhir masa'

Kutipan di atas berasal dari syair lagu yang diciptakan berpuluh tahun lalu oleh Alm. M. Siahay atau kerap disapa sebagai Oom Teko. Apakah sekarang masih sering dinyanyikan atau tidak, entahlah…

Putra sulung pencipta lagu ini kebetulan adalah salah seorang sahabat karib saya.Dibesarkan di kota kecil yang tak terlalu padat pada masa itu, bukan hal yang luar biasa jika kami selalu masuk ke sekolah yang sama mulai TK sampai SMA, sebelum akhirnya masing-masing mengadu nasib ke perantauan.

Masih jelas di ingatan, siang itu kelas kami – Kelas 5 SD Negeri Latihan 2 SPG Negeri Ambon – belajar menyanyikan lagu di atas, dipimpin oleh Pak Sarimolle, Wali Kelas merangkap Guru IPA, pelatih pencak silat dan Pembina Pramuka.Berambut keriting, perawakan sedang, agak gempal, dan tak ketinggalan kumis tebal mendukung gelar ‘killer’ yang sering dialamatkan padanya.

Pak Sarimolle, guru kami yang sedikit galak namun sesungguhnya baik hati itu berasal dari desa yang sama dengan ibu sahabat saya tadi, juga ibu saya.Desa Haria yang juga dikenal sebagai tempat kelahiran Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura merupakan desa pelabuhan di Pulau Saparua, penghasil ikan yang dijuluki ‘Haria anyir’ (amis) karena berlimpahnya produksi ikan di sana.

Sejarah mencatat tanggal 15 Mei 1817 sebagai hari terjadinya peristiwa penyerbuan besar-besaran ke Benteng Duurstede milik Belanda yang terletak di pesisir Pantai Waisisil, Saparua.Sepenggal lagu lain yang saya ingat menyebutkan, ‘… Pantai Waisisil jadi merah…’.

Ya, hari itu pesisir pantai yang luar biasa indah dengan pasir putih bersih dan laut bening laksana kaca itu merah oleh darah para pejuang maupun tentara Kompeni termasuk Residen Belanda, Van den Berg, yang tewas dalam penyerangan itu.

Perlawanan gagah berani melawan penjajah yang dipimpin Pattimura, didukung oleh Philip Latumahina, Anthoni Rhebok, Said Perintah, dan pahlawan wanita Christina Martha Tiahahu ini sukses membuat Belanda terbirit-birit.Benteng Duurstede sempat berhasil diraih dan diduduki.

Itulah mengapa tanggal 15 Mei dirayakan sebagai Hari Pattimura, khususnya di Propinsi Maluku.

[caption id="attachment_109649" align="alignright" width="300" caption="Photo by Arthur Manuputty"][/caption]

Pertempuran sengit dilandasi kobaran semangat untuk membebaskan rakyat dari tekanan Belanda itu rupanya bahkan menginspirasi wilayah-wilayah lain di Maluku untuk bangkit menentang kesewenangan penjajah.Di Pulau Haruku, tak jauh dari Saparua dan di Pulau Ambon tepatnya di Hitu, kemudian muncul pula tokoh-tokoh yang berani memimpin pergerakan rakyat melawan Belanda.

Sayang, kemenangan ini hanya bertahan beberapa bulan.Seperti kisah-kisah klasik perjuangan melawan penguasa, pengkhianatan sesama kawan menjadi kunci kekalahan.Kisah yang amat mirip dengan cerita film ‘Braveheart’ tentang perlawanan rakyat Skotlandia melawan Inggris.Tokoh William Wallace yang diperankan oleh Mel Gibson yang dikhianati dalam film ini sungguh menggugah dan otomatis membawa ingatan saya kepada kisah Kapitan Pattimura.

Bulan November 1817, salah seorang tokoh pemimpin di Saparua membocorkan rahasia persembunyian Pattimura kepada Belanda.Ia pun ditangkap dan bersama rekan-rekan seperjuangannya dihukum gantung pada bulan Desember 1817 di salah satu bagian Benteng Victoria, Ambon, tempat di mana kini berdiri Tugu Pattimura.

Di sekitar Tugu Pattimura inilah, setiap tanggal 15 Mei acara perayaan Hari Pattimura berpuncak, termasuk tahun ini, 194 tahun berselang. Maskot utama dalam setiap perayaan adalah Obor Pattimura yang diarak dari Pulau Saparua ke Ambon, menempuh 1 jam perjalanan dengan kapal cepat.Sebelumnya, serangkaian prosesi adat harus terlebih dulu dilalui.

Proses pembakaran obor dilakukan di Gunung Saniri yang menjadi lokasi pertemuan Pattimura dengan para kapitan dari Saparua, Ambon, Seram, Haruku dan Nusa Laut untuk menyusun strategi melawan Belanda, pada malam sebelum peristiwa Penyerangan Duurstede. Selanjutnya obor dibawa melintasi beberapa negeri (desa) di Pulau Saparua yang memiliki pertalian dengan perjuangan Pattimura termasuk Haria, sebelum akhirnya dilarikan ke Ambon.

[caption id="attachment_109654" align="aligncenter" width="425" caption="Obor Pattimura di Gunung Saniri (sumber: antarafoto.com)"][/caption]

Sebagian dari prosesi yang berlangsung di Haria dilakukan di ‘rumah tua’ marga Matulessy yang di masa kecil kerap saya kunjungi. Di sana masih tersimpan dalam lemari kaca sebagian pakaian yang konon merupakan kostum perang milik Pattimura. Berbagai kisah legenda seputar kostum ini beredar dari mulut ke mulut, generasi ke generasi.Salah satunya menyebutkan, jika kostum ini dikeluarkan akan turun ‘hujan panas’ – istilah di Ambon untuk menggambarkan hujan gerimis yang turun di saat hari cerah.

Karena perbedaan waktu antara Paris (GMT +1) dengan Indonesia Timur (GMT +9) , saya membayangkan ketika saya sedang menuliskan artikel ini, pada saat yang sama prosesi tersebut mungkin sedang berlangsung di Ambonsana.Mudah-mudahan hujan yang kabarnya terus turun selama beberapa hari belakangan tidak sampai mengganggu prosesi yang setiap tahun rutin digelar itu.

Dari berita-berita di berbagai media saya dapati bahwa Hari Pattimura ternyata tidak hanya dirayakan di tempat asalnya saja, tapi juga diperingati oleh warga keturunan Maluku yang tinggal di kota-kota lainnya di Indonesia, antara lain di ibu kota yang biasanya dipusatkan di Anjungan Maluku TMII.Semangat Pattimura rupanya dirasa perlu terus dikobarkan, kapan pun dan di mana pun anak Maluku berada.

Kapitan Pattimura sering dijuluki ‘Thomas Matulessy, laki-laki kabaresi’.Kabaresi berarti pemberani.Jiwa pemberani dan kepemimpinan telah mendudukkannya sebagai tokoh sentral dalam sejarah Maluku sampai sekarang.

Saat ini berbagai fasilitas publik menyandang nama besarnya.Jalan Pattimura, salah satu jalan utama di Ambon; Universitas Pattimura; Bandara Pattimura; Kodam XVI Pattimura.Bahkan generasi muda Maluku biasa diibaratkan sebagai ‘Pattimura-Pattimura muda’.

Terakhir, saya ingin mengutip lagi sebagian syair lagu yang dulu sering menjadi lagu wajib dalam lomba-lomba Vocal Group di Ambon :

'... Pattimura muda, teruskanlah dia punya perjuangan

Jang(an) pake parang salawaku, tapi semangat baja

Pattimura muda, Lawamena Haulala

Mari baku bantu par bangun Tanah Air Indonesia

Maju hai maju....'

Selamat Hari Pattimura.

Lawamena Haulala – maju terus pantang mundur !

Paris, 15 Mei 2011

Sumber:  erakas.blogspot.com, g-excess.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun