Mohon tunggu...
Livia Nurul
Livia Nurul Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Universitas Trunojoyo Madura

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sesat Pikir Pada Masa Pandemi

20 Januari 2021   23:10 Diperbarui: 20 Januari 2021   23:10 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

         Virus Corona 2019 atau yang biasa yang disebut COVID-19 saat ini telah menjadi perbincangan di seluruh penjuruh dunia. Berawal dari munculnya sebuah virus di kota bernama Wuhan,cina yang saat ini sudah menginfeksi lebih dari 20 jt umat manusia di dunia.

Sebuah kejadian luar biasa yang tidak terbayangkan sebelumya akan menjadi separah ini. Fenomena yang dapat mematikan banyak sektor di suatu negara,bukan perang senjata,melainkan perang terhadap sebuah mikrooganisme,sehingga memaksa manusia untuk merubah gaya hidup menjadi lebih sehat. Di indonesia sendiri,sudah terdapat 100.000 lebih penduduk  yang terinfeksi oleh COVID-19. Angka yang sangat fantastis untuk menyebut jumlah pasien. Di samping itu, bertambahnya angka ini setiap harinya menyebabkan berbagai kalangan mulai paranoid dan cemas. Masyarakat merasa tidak di beri kepastian akan banyak hal, sepertinya pandemi yang tidak kunjung selesai,tetapi justru meningkat tiap harinya. Hal ini mengakibatkan mereka mulai kehilangan pekerjaan dan memicu munculnya kasus kematian baru yang disebut "Kelaparan". Brdasarkan sebuah penelitian,jumlah yang mengalami kelaparan tingkat krisis mencapai 270 juta pada 2020 sebagai akibat dari pandemi virus corona. Data ini mengalami peningkatan yang sangat luar biasa dari tahun sebelumnya.

Selama pandemi COVID-19 ini pula,masyarakat terpaksa untuk tetap #DirumahAja demi memutus rantai penyebaran virus. Hal ini berdampak pada makin bertambahnya jumlah orang yang menghabiskan waktu dengan berselancar di media sosial. Berdasarkan statistika suatu badan yang mengkaji data-data dari 170 industri di lebih dari 50 negara,April lalu melaporkan konumsi media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram naik hingga 44 persen. Paparan berita pun menjadi sangat mudah untuk dapat di akses. Berdasarkan penelitian pada 4827 partisipan yang di lakukan oleh Gaoet al. (2020), ditemukan terdapat 82% partisipan yang sering mengonsumsi berita tentang COVID-19 di  media sosial.

Sejatinya fenomena ini dapat berdampak positif maupun negatif. Apabila literasi masyarakat sudah cukup baik, maka mereka akan mendapatkan informasi yang kredibel,sehingga dapat lebih waspada akan adanya COVID-19. Namun, realitanya masyarakat indonesia memiliki tingkat literasi yang cukup buruk, sehingga tidak dapat  menyaring informasi yang terbesar dengan baik. Hal tersebut mengakibatkan beredarnya banyak hoaks yang meremehkan ataupun melebih-lebihkan pandemi ini, sehingga masyarakat mudah terprovokasi tanpa mencari tahu kebenaran ataupun sumber informasi tersebut.

Berbagai stigma pun saat ini beredar dengan deras pula. Stigma sosial dalam konteks kesehatan adalah hubungan negatif antara seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kesamaan ciri dan penyakit tertentu. Dalam hal ini berarti terdapat sekelompok orang yang diberi label atau diperlakukan secara terpisah karena memiliki keterkaitan dengan suatu penyakit, sehingga dapat menyebabkan seseorang menyembunyikan penyakitnya agar terhindar dari diskriminasi. Bahkan, kemungkinan terburuknya dapat mencegah seseorang untuk melakukan perawatan pula. Hal ini di karenakan stigma sangat melukai hati seseorang atau kelompok bahkan lebih berdampak negatif dari kesehatan mental di bandingkan virus corona itu sendiri. Maka dari itu, dalam kasus stigma negatif ini terdapat beberapa kelompok yang paling berdampak,yaitu maasyarakat umum,tenaga kesehatan,serta pasien dan keluarga terdampak COVID-19.

Pada masyarakat umum yang terjadi adalah terdapat pihak yang merasakan kecemasan berlebih serta pihak yang menyebarkan hoaks  pula. Kelompok ini menjadi target yang rentan karena keseharianya dihabiskan dengan melihat media sosial, sehingga sangat di perlukan adanya edukasi dari pemerintah ataupun pihak-pihak terkait untuk menyampaikan fakta maupun klarifiksi atas beredarnya rumor dari sumber yang tidak jelas. Hal ini diperlukan guna melati berpikir kritis serta meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Namun,pada kenyataanya masyarakat sering di ambang kebingungan pada pertanyaan pemerintah yang tidak tegas dan stabil, seperti penggunaan masker medis atau kain pada awal pandemi serta larangan mudik yang sempat menuai berbagai kontrofersi.

Tenaga kesehatan merupakan kelompok yang paling memprihatinkan. Tekanan yang mereka peroleh  sebagai garda terdepan untuk dapat menyembuhkan pasien COVID-19 sangatlah beresiko untuk dapat tertular. Ironisnya, tidak hanya tekanan fisik yang harus mereka dapakan, tetapi juga munculnya beragam stigma yang memengaruhi mental mereka. Salah satu contohnya, terdapat sejumlah perawat yang terintimidasi, yaitu diusir dari kontrakan karena khawatir dapat menularkan virus penyebab COVID-19 (Abdillah, 2020). Hal tersebut tentunya sangat mengenaskan. Selain itu, beberap tenaga medis juga sudah gugur karena harus berkontak langsung dengan pasien COVID-19 setiap harinya. Hal ini justru merugikan bagi kita sebagai masyarakat karena semakin menipisnya jumlah tenaga medis, semakin sulit pula untuk menangani pasien COVID-19 yang terus bertambah  setiap saat. Maka dari itu, sudah sepatutnya masyarakat lebih menghargai para tenaga kesehatan yang sudah berjuang mati-matian dengan tidak menyebarkan stigma tak berdasar yang hanya akan memberi teknan psikis bagi mereka.

Kelompok yang terakhir yaitu pasien serta keluarga terdampak COVID-19. Kelompok ini juga mengalami maa yang teramat sulit. Pasien yang harus berjuang melawan virus ini kera dijauhi oleh bayak kalangan, seakan-akan penyakit ini sebuah aib yang memalukan. Padahal, mereka inilah yang seharusnya mendapat dukungan penuh agar tetap kuat menghadapi virus ini, tanpa perlu merasa terkucilkan. Dari media sosial pula, beredar sebuah informasi terkait penolakan warga terhadap pemakaman jenazah penderita COVID-19. Bukankah hal ini menjadi pukulan yan amat menyakitkan bagi keluarga pasien? Padahal, menurut William Adu-Krow, juru bicara PAHO/WHO dalam sebuah konferensi pers, dikatakan bahwa belum ada bukti khusus bahwa jenaza dapat mentransmisikan virus pada mereka yang masih hidup (BBC Indonesia, 2020). Namun, demi keamanan bersama, tetap perlu dilakukan upaya preventif selama pemakaman.

Berbagai macam stigma negatif yang ditunjukkan pada ketiga kalangan tersebut tentunya dapat menyebabkan kekhawatiran atau tekanan psikologis mereka semakin meningkat ,sehingga memicu munculnya gejala baru yaitu psikosomatis. Menurut Zulva (2020) dalam Kartini Kartono (1986), Psikosomatis didefinisikan sebagai bentuk macam-macam penyakit fisik yang ditimbulkan oleh konflik psikis dan kecemasan kronis. Pada umumnya, munculnya sebuah ancaman, tubuh merespon dengan rasa takut serta cemas berlebih sebagai bentuk untuk menjada rasa aman. Hal ini pun memengaruhi fungsi psikologis secara negatif hingga menimbulkan munculnya rasa sakit pada tubuh kita. Jika ditinjau dari fenomena virus corona yang saat ini sedang terjadi, maka rasa sakit yang timbul akibat kecemasan berlebih berupa gejala semu yang menyerupai COVID-19. Seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, sesak napas, dan gejala lainya. Hal ini menjadi sebuah gejala baru yang perlu mendapatkan perhatian khusus, bukan hanya dari kalangan tenaga medis, melainkan diri kita sendiri agar lebih memperhatikan orang-orang sekitar jikalau mengalami tekanan psikis yang cukup serius karena gejala ini dapat mengakibatkan menurunnya sistem imun tubuh. Padahal, virus COVID-19 ini pada dasarnya menyerang sistem imun tubuh yang lemah. Oleh sebab itu, kita harus secara tenang, tetapi tetap waspada dalam menyikapi fenomena ini.

Stigma negatif atau rumor selama masa pandemi COVID-19 ini memang teramat sulit untuk dikendalikan, sehingga sangat wajar apabila terdapat beberapa kalangan yang mengalami kecemasan berlebih serta gejala kesehatan mental lainya hingga menyebabkan munculnya gejala psikosomatis. Stigma negatif ini sejatinya berawal dari kurangnya informasi atau fakta yang diterima oleh masyarakat, apabila COVID-19 ini adalah sesuatu yang baru. Oleh karena itu, WHO pun sebenarnya sudah memberikan beberapa anjuran untuk masyarakat terkait fenomena stigma ini, diantaranya adalah perlu adanya upaya untuk penyebaran informasi yang detail dan akurat agar masyarakat tidak lagi merasa kebingungan. Penyebaran informai dapat kita lakukan melalui media sosial. Dari sudut pandang positif, media sosial sebenarnya memudahkan dalam penyebaran informasi mengenai COVID-19 karena dapat langsung menjangkau jutaan orang dalam satu waktu dengan sangat praktis. Dalam penyebaran informasi tersebut, perlu diperhatikan kata-kata yang disampaikan seperti mengganti kata "Korban COVID-19" menjadi "Orang yang di rawat karena COVID-19" dan sebagainya. Hal ini disebabkan cara berkomunikasi dapat memengaruhi sikap orang lain dalam memandang sesuatu guna tidak menimbulkan stigma negatif. Selain itu, kita juga dapat berupaya untuk memperkuat cerita inspirasi dari orang-orang yang telah pulih dari C0VID-19, sehingga memberi kepercayaan pada masyarakat bahwa bahwa penyakit ini dapat disembuhkan. Pelaporan berita pun menjadi solusi yang paling mutakhir, yaitu bukan hanya mengenai penyebaran kasus yang terus meningkat maupun konspirasi yang mengerikan, melainkan lebih memfokuskan pada konten mengenai gejala,pencegahan, serta perawatan dari COVID-19. Menurut salah satu Psikolog Herdiana (2020), langkah terakhir yang dapat dilakukan adalah dengan menciptakan lingkugan positif yang menunjukkan rasa peduli dan empati pada sesama. Negara ini akan lebih indah pasti akan lebih indah tanpa adanya COVID-19.

Bapak Presiden Joko Widodo membicarakan tentang COVID-19, ia mengatakan mengajak para pemimpin negara G20 untuk bersama-sama memenangkan dua "Peperangan" yaitu, melawan virus corona (COVID-19) dan melawan pelemahan ekonomi dunia. Orang-orang menganggap bahwa kenaikan kasus virus corona (COVID-19) ini disebabkan karena tingginyaa tingkat tes. Sejauh ini sudah tercatat ada 93 juta lebih kasus yang terkonfirmasi Virus Corona (COVID-19) dengan total kematian mencapai hingga kurang lebih 2 juta di seluruh dunia. Karena banyaknya kasus yang terjadi dan belum ada vaksin untuk covid-19 ini membuat setiap kepala negara memberlakukan kebijakan pembatasan jarak pada setiap individu atau sering kita sebut sebagai phisical distancing untuk meminimalisir penyebaran covid-19 serta kebijakan lainnya seperti selalu pakai masker ketika bepergian dan selalu menjaga kondisi tubuh agar tetap fit dan punya imun yang kuat.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun