Mohon tunggu...
Han Xin
Han Xin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Elektabilitas Ahok Turun Menjadi -51%

19 November 2016   15:37 Diperbarui: 19 November 2016   16:01 1583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak tahun 2012 , Pilkada DKI menjadi suatu pesta demokrasi paling berpengaruh kedua setelah Pilpres .  Disinilah muncul wacana akan sebuah tradisi kepemimpinan dimana seorang Jokowi menaiki anak tangga dengan satu lompatan besar , dari Solo , Jakarta untuk menjadi orang nomer satu Indonesia.  Hal ini baik bagi tradisi kepemimpinan daerah lainnya , menjadi contoh bagaimana suatu career path (jalur karir) yang semestinya para pemimpin harus melalui karir dari bawah untuk menuju ke puncak . 

Bagi seorang Ahok hal ini pun disadari betul bahwa memimpin DKI adalah kesempatan emas untuk menuju puncak yang lebih tinggi sebagaimana Jokowi . Sebagai seorang double minority (Kristen dan Tionghoa) , kerja keras adalah suatu konsekuensi mutlak . Ibarat seorang pria dengan wajah dan uang yang berkekurangan sedang mendekati seorang wanita cantik , maka Ahok harus berjuang lebih keras daripada Jokowi sebagai figur yang mewakili double majority (Muslim dan Jawa) .  

Perjuangan keras Ahok ini terdokumentasikan secara sempurna dalam dokumentasi video DKI Jaya yang mudah diakses publik , dari pertemuan warga di balai kota setiap harinya hingga rapat-rapat internal pemerintahan provinsi . Disini Ahok menjadi semakin populer sekaligus tokoh paling kontroversial. Ahok dikagumi karena ketegasannya dan keberaniannya , dibenci karena gaya bicaranya yang blak-blakan . Segala sesuatu yang dijalankan Ahok menjadi kontroversial , mulai dari stigma si tukang gusur , pembela pengembang , sekaligus si pembangun rusun hingga berbagai masjid , mulai dari si tukang pecat sekaligus tokoh anti-korupsi . 

PENDEKAR AHOK DALAM PERTARUNGAN ASIMETRIS 

Hingga tidak terasa Pilkada 2017 menjelang .  Sosok Ahok tetaplah kontroversial , walaupun demikian populatitas dan elektabilitas Ahok nyaris tak terbendung tanpa saingan berarti. [1] Beberapa calon lawan potensial juga nama pemimpin2 daerah yang populer seperti Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo . [2]  Walau akhirnya mereka mungkin punya perhitungan lain dari segi resiko maupun peluang . Demikian pula Ahok yang semula independen akhirnya menerima dukungan dari partai politik yang didominasi partai nasionalis , Hanura , Nasdem , Golkar dan PDI-P . 

Ahok dengan elektabilitas tertinggi didukung big-2 partai pemenang pemilu , menghadapi koalisi yang pecah kongsi hingga memunculkan nama Agus-Silvy dan Anies - Sandiaga.  Nomer urut satu adalah Agus adalah darah biru Cikeas , seorang perwira muda dan berdarah biru penguasa lama didampingi seorang ibu PNS . Nomer urut tiga , adalah  Sandiaga Uno , seorang protegee keluarga pendiri Astra , yang namanya terkait dengan Panama Paper yang bergerak paling awal selama setahun terakhir sebelum akhirnya harus mengalah pada Anies yang baru saja menjadi korban resuffle kabinet.  

Sampai disini Ahok masih diatas kertas dan terjadi persaingan tidak seimbang .  

Munculnya demonstrasi 4-11 itu dapat dimakanai sebagai sesuatu yang membanggakan dari segi jumlah massa walaupun dari segi kualitas dan kuantitas tidak bisa menyamai gerakan demonstrasi yang dipimpin kalangan intelektual muda , yakni bersatunya para mahasiswa menggulingkan sebuah rejim yang sudah berumur terlalu tua.  Ada juga yang membandingkan demonstrasi 4-11 dengan gerakan "not my president" Trump yang merebak di Amerika Serikat . Tetap saja dari segi kualitas dan kuantitas demonstrasi , demonstrasi di Amerika Serikat itu multi-dimensi karena mengusung kepentingan yang lebih luas dan multi-dimensi (kaum Muslim , kaum kulit-hitam , kaum white-latino , LGBT , dan seterusnya) .  

Demonstrasi 4-11 mengatasnamakan agama walaupun Raksasa NU sebagai ormas Islam terbesar didunia pun lebih memilih bersikap netral . Ketua NU , Said Aqil , berkelakar kalau NU turun , Jakarta tidak muat . [3] Walau ormas yang terlibat demonstrasi mati-matian menolak aksi mereka dikaitkan dengan Pilkada DKI , seorang Jusuf Kalla pun berpendapat sebaliknya, jika bukan soal Pilkada , soal Ahok tidak akan bermasalah[4]. Jauh sebelumnya , Ahok dalam posisi baru menjabat Gubernur pasca Jokowi , memang sudah muncul demonstrasi dari ormas yang sama sehingga memunculkan "gubernur tandingan" Fakhrurrozi [5] 

Demonstrasi 4-11 justru dimaknai semakin tingginya nilai Ahok, bagaikan buronan nomer satu bagi sekelompok ormas , hingga merasa perlu memanggil bala-bantuan dari luar daerah untuk melancarkan aksi 

LEMBAGA SURVEY VS AHOK 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun