Implikatur tuturan yang diduga sebagai makian diidentifikasikan melalui analisis terhadap penerapan prinsip kerja sama dan implikatur percakapan itu sendiri. Prinsip kerja sama itu yakni maksim relevansi. Hal tersebut terjadi karena para netizen memberikan kontribusi yang relevan dengan situasi pada saat itu. Tidak menyimpang dari apa yang sedang dibicarakan, yaitu mengenai pandemik Covid 19 di Indonesia.Â
Tuturan para netizen di media sosial tersebut memiliki kemungkinan yang dinyatakan sebagai cemooh sinis (flout). Hal itu menjadi langkah awal dalam mengungkap implikatur percakapan. Dalam kasus ini, ditemukan implikatur percakapan penutur sebagai berkut. 1) merasa kesal; 2) merasa marah; 3) merasa benci; dan 4) ingin memberi peringatan. Adapun mereka para netizen di media sosial dalam berkomentar berdimensi tindakan dengan mengategorikan sasarannya pada sesuatu yang buruk atau negatif.
Berdasarkan tingkat validitas tuturan makian para netizen di media sosial yang mengkritik pemimpin daerah atau negara, menteri dan juga dokter, maka syarat-syarat validitas yang digunakan untuk mengukur tingkat validitas tuturan performatif yaitu 1) tuturan ditandai dengan verba present (bukan lampau); 2) orang yang mengatakannya memiliki niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan apa yang dikatakannya; 3) orang yang mengatakannya memiliki kepatutan atau relevansi dengan apa yang dikatakannya.Â
Berdasarkan analisis terhadap tingkat validitas, maka tindak tutur makian yang digunakan para netizen di media sosial terhadap sasarannya dapat dikatakan valid karena sudah memenuhi syarat-syarat mengenai validitas tuturan makian.
 Dengan demikian, berdasarkan sudut pandang pragmatik, istilah "netizen goreng presiden", "netizen goreng gubernur", "netizen goreng menteri", serta "netizen goreng dokter" merupakan tuturan makian para netizen di media sosial kepada sasarannya untuk mengungkapkan rasa kesal, marah, benci, memberi peringatan, atau emosi lain sejenisnya.