Mohon tunggu...
Listya an
Listya an Mohon Tunggu... Lainnya - Sedang dan terus belajar

Kaki-kaki melangkah. Find me tulisty.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rahasia Gelas

13 April 2020   12:40 Diperbarui: 13 April 2020   13:12 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gemericik air sedari tadi tidak juga kunjung berhenti. Anginpun begitu. Sejengkal demi sejengkal menelanjangi apa saja yang ada dihadapannya. Ku guyur air satu ember ke lantai, semerbak amis mengudara. "Jangan dulu semua ditumpahkan!" teriaknya dari ruang sebelah. 

Kami tidak perduli, segera abang mengambil kain bekas untuk digesekannya kesana kemari. "Ayo tumpahkan lagi". Air mengalir keluar bersama runtuhan kotoran yang telah bertahun-tahun mengendap di langit-langit rumah.

Orang-orang santai, menikmati hujan dibalik selimutnya. Sama halnya dengan dia, menikmati hujan di balik jendela kaca yang retak dan berdebu. Sambil duduk termangu menatap kosong kearah jalan, kadang juga matanya dipejamkan. "Segera selesaikan pekerjaan kalian." Meskipun terlihat melamun ternyata dia diam-diam mengintai kami dengan pendengarannya.

Hari-harinya memang begitu, banyak dihabiskan untuk melamun. Berdiam diri, seperti tenggelam oleh sebuah rasa penyesalan. Kami juga tidak paham. Pernah suatu hari, dia marah-marah kepada kami.

Saat kami menyiapkan sarapan di meja makan, lengkap dengan piring, sendok dan tidak lupa gelas juga. Hanya saja gelas yang kami siapkan tidak seperti biasanya. 

Kami menggantinya dengan gelas berwarna putih bergambar pohon, yang kami ambil dari kardus tempat penyimpanan perkakas dapur yang tidak terpakai. 

Dia duduk di meja makan seperi biasa, lalu terdiam ketika menatap gelas itu. Wajahnya langsung pucat, seperti ada rasa takut yang bercampur dengan rasa lainnya.

"Kenapa dia?" bisikku. Abang hanya menjawab dengan gelengan kepala. Lalu kami segera mengambil posisi duduk masing-masing. Baru saja kami duduk, dia sudah teriak. "Kenapa kalian ganti gelasnya?" Sejenak kami terdiam. 

Kaget juga mendengar teriakannya. "Kami tidak sengaja membongkar kardus yang ada di gudang perkakas itu, lalu kami lihat ada gelas yang masih bagus. Yaa, kami pikir kenapa tidak di...." Belum selesai, perkataanku sudah disambar saja oleh dia. 

Kami hanya menunduk, saat dia panjang lebar memaki kami. Hingga gebrakan meja yang menjadi tanda puncak kemarahannya. Matanya seperti berkaca-kaca, lalu dia pergi.

Sungguh, itu suasana pagi hari yang tidak ingin kami temui lagi. Untuk yang pertama kali kami dibentak, kami dimaki dengan umpatan-umpatan kasarnya. Setelah cukup lama kami mengabdi, kami layani dia, dari bangun tidur hingga tertidur lagi. Semacam dia itu ibu ratu. Dan kami?  Yaa, tentu saja budaknya.

Setelah kejadian itu, dia tidak lagi menegur. Hingga makan pun, juga tidak mau bersama kami seperti biasanya. Dan kami, seperti benar-benar menjadi budaknya. Sedikit-dikit dia memerintah. Jika kami membuat kesalahan, dia sudah siap mengaung, seperti singa. 

Sungguh mengerikan. Terkadang kami bisa sedikit bernafas lega, jika dia tidak menemukan celah kesalahan kami. Dan jika begitu, dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk duduk bersandar di kursi kayu, dengan memandangi jendela kaca yang sudah tua itu.

Kami masih memikirkan gelas itu. Yaa. Bagaimana tidak, itu hanya gelas biasa. Sama dengan gelas lainnya, fungsinya untuk mempermudah kita minum air. Bukannya begitu?

Yogyakarta, 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun