lao pe au marhuta sadaÂ
tung so pola leleng nga mulak au
diparjalangan dang sonang au
sai tu pulo samosir masihol au
Walau aku menetap di tempat lain
Tak perlu lama aku akan pulang
Di perantauan aku tak bahagia
Ke Pulau Samosir aku selalu rindu
Dari kutipan lirik lagu di atas, pencipta lagu sebagai bagian dari masyarakat setempat menyampaikan bahwa suasana kerinduan mendalam terhadap Pulau Samosir sebagai bagian dari Heritage of Toba yang dirasakan oleh para perantau. Â Oleh karena itu, perantau akan selalu berupaya menjaga warisan budaya yang telah melekat kuat sehingga perantau dengan mudah dikenali oleh masyarakat lain. Adapun warisan budaya yang tetap terjaga sampai kini di Toba, yaitu: bahasa, konsep dalihan natolu, pakaian, rumah adat, tarian, nama, dan ragam bahasa.
Bahasa Toba memiliki kosa kata dan tulisan dari suku yang mendominasi, yaitu suku Batak. Bahasa Batak Toba terdengar "kasar" karena diucapkan dengan logat yang menyerupai orang marah. Padahal, masyarakat setempat sangat terbuka dan ramah. Oleh sebab itu, sering dikenal anekdot berikut: "Orang Batak itu seperti bika ambon. Keras di luar, lembut di dalam".
Warisan budaya berikutnya adalah konsep dalihan natolu yang berarti 'tungku berkaki tiga' untuk memperoleh keseimbangan sebagai konstruksi sosial yang menjadi dasar bersama. Tiga hal tersebut adalah: 1. somba marhula-hula yang berarti hormat kepada keluarga istri; 2. elek marboru yang berarti lemah lembut terhadap boru atau perempuan; dan 3. Manat mardongan tubu/ sabutuha yang berarti berhati-hati terhadap sesama marga (dikutip dalam buku Dalihan Natolu pada Masyarakat Batak Toba di Kota Medan, Harvina, dkk., 2017:1-4).