Tidak cukup disitu saja. "Teror" ketakutan itu makin ditebalkan dengan tambahan informasi dan instruksi yang diberikan sebelum subjek diuji dengan alat palsu tersebut. Benar, hal ini dilakukan karena sebenarnya bukan alat tersebut yang diuji melainkan pikiran subjek.
Hasilnya hampir semua merasakan sakit akibat alat yang sebenarnya tidak melakukan apa-apa selain memancarkan cahaya laser biasa dan bunyi yang aneh. Bahkan saat diuji level sakitnya, ada yang memberi nilai sampai 9,5 dari 10.
Ya, dari sini kita bisa mengerti bahwa ternyata rasa sakit bisa ditimbulkan karena pikiran kita sendiri.
Beritahu atau Tidak, ya?
Adanya nocebo effect ini bisa menjadi dilematis. Seperti yang bisa dialami tenaga medis.
Misalkan saja ketika mereka harus memberi tahu efek samping negatif dari sebuah pengobatan tertentu (seperti radiasi,kemoterapi dll). Beberapa pasien mungkin percaya akan mengalami dampak tersebut dan ramalan mereka bisa menjadi nyata. Terlebih pasien dengan tingkat kecemasan yang tinggi.
Namun di sisi lain, jika tidak diberitahu tentang risiko tentu bisa jadi masalah baru. Mereka (tenaga medis) bisa jadi dituntut karena dianggap melakukan malpraktik. Karena informasi soal pengobatan dan dampaknya memang sudah menjadi hak pasien untuk tahu.
Jadi bagaimana?
Salah satu untuk mengurangi risikonya adalah dengan mengubah bagaiamana cara berkomunikasi. Pemilihan kata bisa sangat berpengaruh. Seperti lebih baik menggunakan pernyataan "Terdapat sedikit pasien yang mengalami pusing ketika mendapatkan pengobatan ini" daripada hanya mengatakan "pengobatan ini membuatmu sakit kepala."
Namun tidak hanya menjadi pekerjaan tenaga medis saja, sebagai pasien pun kita perlu memahami benar bahwa dampak tersebut belum tentu terjadi agar tidak membuat berpikir yang tidak-tidak.
Belajar dari Nocebo Effect, Jadi Positive Thinking Aja!