Mohon tunggu...
Lis Liseh
Lis Liseh Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker/Pengajar

Apoteker dan Pengajar di Pesantren Nurul Qarnain Jember | Tertarik dengan isu kesehatan, pendidikan dan filsafat | PMII | Fatayat NU. https://www.facebook.com/lis.liseh https://www.instagram.com/lisliseh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seni Mengantisipasi Luka

29 Januari 2019   11:11 Diperbarui: 8 Februari 2019   11:46 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil gambar untuk BUNUH DIRI

 

 "Bagaimana kabarmu, Ti?" Lelaki gempal bersuara berat itu langsung mengambil duduk dihadapanku. Memanggil penjaga warkop memesan kopi hitam kesukaannya.

Pertanyaan yang umum dilontarkan, namun jawaban "baik-baik saja" atau "tidak sedang baik" adalah jawaban yang membosankan. Dan entah mungkin sifat melankolisku saat ini sedang kelebihan muatan, sehingga pertanyaan biasa seperti itu saja sudah membuatku tidak nyaman.

"Alhamdulillah masih hidup, Mas." Jawaban jujur yang kucoba lebih-lebihkan dibubuhi senyum kecut.

"Kenapa? Mau bunuh diri lagi?"

Respon yang selalu menyebalkan. Kapan manusia satu ini berhenti mencampuri urusanku? Meyesal kemarin lalu mengadu tentang masalahku padanya.

"Kalau Mas Arya berminat, bolehlah bantu menghabiskan hidupku sekarang," aku nyengir ber-hehe menahan sebal.

"Kalau hidupmu itu seperti semangkok bakso urat hangat-hangat, kusantap sampai kuahnya tetes terakhir, Ti. Kamu ini ada-ada saja. Mau mati saja masih harus menyusahkan orang."

"Masalahnya kalau aku bunuh diriku sendiri masih takut, Mas. Takut sakit." Lagi-lagi harus mengarang jawaban ngawur berhias cengiran yang mulai kusesalkan.

"Mau mati kok takut sakit. Kalau mau bunuh diri itu ndak perlu banyak rencana, ndak perlu banyak strategi. Macam cerita detektif saja."

Kenapa harus membahasnya berlama-lama? Aku sendiri sudah bosan mendengar semua nasihatnya yang selalu aku iyakan namun jarang aku laksanakan. Aku cuma diam dan dia tertawa, entah apa yang terasa lucu olehnya, atau sarafnya salah menterjemahkan respon diamku dikira "Sarimin pergi ke pasar" kali ya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun