Mohon tunggu...
Lis Dhaniati
Lis Dhaniati Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Seorang ibu rumah tangga. Ibu bagi ALE, manusia kecil yang sedang antusias bertumbuh dan belajar. Tinggal di Pematangsiantar, Sumut. Mengelola blogstore www.kodimu.com dan blog bisnis www.lisdhakerjadirumah.com. Berusaha menggunakan waktu tidur anak untuk menulis :).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Serikat Ibu Rumah Tangga Indonesia

20 April 2011   12:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:36 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia hari ini, bukan negeri zaman Kartini. Perempuan sekolah tinggi? Sudah biasa. Perempuan berkarir hebat? Bukan hal aneh. Perempuan jadi menteri? Bukan hal ajaib. Perempuan jadi presiden? Sudah pernah dan mungkin akan ada lagi.

Maka, perempuan jadi merasa tidak keren kalau hanya menjadi ibu rumah tangga. Apalagi kalau sebelumnya sudah sekolah tinggi atau mencicipi karir formal yang bagus. Aduuuh, jadi ibu rumah tangga adalah sangkar emas yang menyedihkan. Barangkali, karir suami bagus, jadi kebutuhan primer-tersier bukan masalah. Tapi, hasrat aktualisasi diri tidak terpenuhi. Bahkan, depresi karena terjebak dalam rutinitas pekerjaan domestik yang -meski terlihat sepele- tapi sesungguhnya melelahkan. Belum lagi harus menanggung penilaian sosial : 'sayang banget sih jeng, skulah tinggi-tinggi kok cuma kerja di dapur' atau tuntutan sosial : 'jadi ibu rumah tangga nggak usah macem-macem.'

Kalau para feminis mengatakan perempuan adalah kaum marjinal, maka ibu rumah tangga adalah kelompok yang sangaat marjinal -apalagi kalau ditambah dengan status elit (ekonomi sulit). Sudah perempuan, ibu rumah tangga, miskin pula.

Saya tidak tahu statistik ibu rumah tangga di Indonesia. Tapi saya yakin jumlahnya jutaan. Jumlah yang siginifikan tapi dalam ekonomi nasional tidak masuk hitungan. Sebab, kerja domestik para IRT bukan termasuk jenis pekerjaan yang menghasilkan uang :( -dan karena itulah para IRT nggak boleh macem-macem :D. Dalam dunia yang semakin materialis, hanya orang yang menghasilkan uang yang boleh macem-macem!

Saya jadi membayangkan, bagaimana seandainya seluruh IRT tergabung dalam Serikat IRT Indonesia. Lalu, hari Kartini atau hari Ibu digunakan untuk berdemo atau mogok kerja nasional layaknya para buruh memanfaatkan momentum May Day. Waaah, pasti akan jadi hari yang 'keren' (tanda kutiiiip loh yaaa). Pagi-pagi nggak ada sarapan (jajaaan di waruuuung), anak2 absen sekolah nggak ada yang ngantar, bayi-bayi meraung-raung tanpa pertolongan, rumah-rumah berantakan, tukang-tukang sayur pulang dengan tangan hampa, bapak2 kerja di kantor dengan tidak tenang. Pwaaaah...situasi genting nasional. Presiden pidato menyerukan agar IRT kembali bekerja (setelah sebelumnya merayu ibu presiden yang juga ikut menyukseskan mogok nasional :D). Juga menyerukan para suami agar lebih menyayangi dan mendukung istri dalam melakukan tugasnya selaku IRT.

Hahaha...suami saya akan menyebut hal ini sebagai 'imajinasi yang lebay'. Dan saya akan menjawab 'embeeeer.'

Yayayay,..untungnya -dan semoga- hanya imajinasi. Meski membayangkan, saya tidak ingin ini terjadi. Bagaimanapun, relasi bapak-ibu (rumah tangga) tidak sebangun dengan hubungan perusahaan-buruh. Kalau demikian relasinya, para IRT boleh dong menuntut upah tinggi. Lha pelayanan all in one : dapur sampai kasur lhooo...

Kalau saya melihat film-film jadul, jadi IRT -apalagi dipersunting pria mapan- adalah kebanggaan bagi si perempuan, bahkan keluarganya. Tapi hari gini : 'hanya' menjadi IRT bisa menjadi beban psikologis yang kalau tidak pandai2 mengelolanya bisa menjadi sumber depresi.

Saya bukan aktifis perempuan yang fasih bicara data, atau aktif memperjuangkan kebijakan pro perempuan. Saya hanya bisa mendukung mereka sembari melakukan apa yang saya bisa. Sebagai IRT, saya mengatakan, bahwa ini bukan profesi sembarangan. IRT juga sebuah karir yang butuh skill. Terutama skill untuk melawan 'perasaan rendah diri karena merasa enggak keren'.

Barangkali kami tidak masuk hitungan ekonomi. Tidak apa-apa. Kami memang tidak bekerja untuk National Product. Tapi kami bekerja untuk National Happiness.

Salam IRT :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun