Mohon tunggu...
Lisa Selvia M.
Lisa Selvia M. Mohon Tunggu... Freelancer - Literasi antara diriku, dirimu, dirinya

Anti makanan tidak enak | Suka ke tempat unik yang dekat-dekat | Emosi kalau nemu hoaks

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Benarkah Keberatan Pihak Prabowo-Sandi Layu Sebelum Berkembang?

13 Juni 2019   11:38 Diperbarui: 13 Juni 2019   12:07 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber medsos MK RI

Akhir-akhir ini perbincangan mengenai MK sedang naik daun. Sebelum ikut beropini tentang masalah ini, saya mencoba mengupas hal ini. Pertama-tama, kepanjangan dari MK itu apa ? Nah ... sudah tahu belum ? MK adalah Mahkamah Konstitusi, jangan salah kaprah ya.

Setelah memahami ini, baru bisa naik ke level selanjutnya. Saya mendapatkan sumber dari kolom harian Kompas yang ditulis oleh Hamdan Zoelva, Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia 2013-2015. Mengingat saya bukan berasal dari bidang hukum, ilmu ini penting agar bisa peka masalah yang sedang hangat diperbincangkan rakyat Indonesia.

Hukum Pemilu di Indonesia dibedakan, sebagai berikut :

1. Pelanggaran atau sengketa dalam proses pemilu

Proses diselesaikan  Bawaslu, PTUN, peradilan pidana untuk pelanggaran pidana, dan DKPP untuk pelanggaran etik.

Pelanggaran hukum dan sengketa dalam proses pemilu terbagi 3 bentuk :

a. Pelanggaran pidana pemilu

Definisinya adalah pelanggaran pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Pelanggaran ini wewenang peradilan pidana.

Proses penyidikan dimulai dari laporan masyarakat atau temuan Bawaslu , diverifikasi Bawaslu mengenai adanya dugaan tindak pidana, dilanjutkan penyidik kepolisian dan penuntutan oleh jaksa untuk ke pengadilan.

b. Pelanggaran etik pemilu

Terkait perilaku dan pelanggaran oleh penyelenggara pemilu, dapat berupa hasil laporan masyarakat atau temuan Bawaslu. Untuk pelanggaran ini diselesaikan dan diputuskan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan ditindaklanjuti oleh KPU.

c. Pelanggaran administrasi pemilu

Yaitu pelanggaran tata cara, prosedur, atau mekanisme yang terkait administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan pemilu, tidak termasuk pelanggaran pidana dan etik. Pelanggaran ini antara lain pelanggaran dalam proses pendaftaran pemilih, penetapan DPT, penetapan pasangan calon, pelaksanaan kampanye, dan seterusnya. Bawaslu yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikan pelanggaran ini. 

Politik uang yang adalah pelanggaran pidana, UU memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk menyelesaikan dan memutuskan politik uang jika terjadi terstruktur, sistematis, dan masif.

Sengketa proses pemilu adalah sengketa yang terjadi antarapeserta pemilu atau peserta pemilu dengan KPU. Sengketa ini diselesaikan dalam tingkat pertama oleh Bawaslu. Jika para pihak keberatan atas keputusan Bawaslu, dapat ke PTUN untuk penyelesaiannya.

Jika melihat uraian di atas, pelanggaran baik yang bersifat parsial, terstruktur, sistematis, masif, maupun sengketa dalam proses pemilu maka menjadi wewenang Bawaslu, PTUN, DKPP, ataupun peradilan pidana. Nah, mari kita cek bersama-sama, apakah Peserta Pemilu 2019 yang merasa dirugikan dan selalu mengatakan pemilu curang sudah mengajukan semua pelanggaran dan sengketa proses pemilu melalui mekanisme dan prosedur yang benar ? Jangan-jangan salah alamat.

2. Perselisihan pemilu

Hal ini adalah wewenang MK. Menurut UUD 1945 Pasal 24C Ayat (1), MK hanya menyelesaikan dan memutus perselisihan hasil pemilu. Kewenangan ini dilatari oleh pengalaman Pemilu 1999 yang deadlock saat penetapan hasil pemilu serta KPU tidak bisa mengambil keputusan.

Wewenang MK Meluas

Awal mulanya perselisihan hasil pemilu yang dapat diputuskan oleh MK hanyalah perselisihan angka perolehan suara. Pembuktian dilakukan secara sederhana, hanya dengan mengecek di tingkat mana dan berapa perselisihan angka yang dipersoalkan. Jadi, pembuktian kecurangan dalam proses rekapitulasi dan pelanggaran bersifat parsial. Lalu dalam perkembangannya perselisihan angka saja ternyata tidak menjawab persoalan keadilan pemilu karena bisa saja pelanggaran tak terkait dengan angka, tetapi juga proses.

Karena inilah melalui putusannya dalam perkara perselisihan hasil pemilukada, MK tidak terikat lagi pada perselisihan angka, tapi juga pelanggaran dalam proses yang mempengaruhi hasil pemilu. Bisa dilihat terjadinya perluasan kewenangan MK. Dari sinilah lahir istilah pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Pelanggaran TSM

Pelanggaran ini adalah pelanggaran yang sedemikian masif dilakukan, direncanakan dengan matang untuk menang secara curang, dan melibatkan struktur pemerintahan, petugas penyelenggara, ataupun pengawas pemilu secara berjenjang dari tingkat TPS sampai atas.

Pemohon yang mengajukan pelanggaran TSM harus dapat membuktikan pelanggaran tesebut dilakukan secara TSM. Mereka juga membuktikan bahwa dampak pelanggaran signifikan memengaruhi keterpilihan. Untuk membukti pelanggaran ini tidak mudah.

KPU Fokus Jawab Tiga Hal Keberatan Pasangan Prabowo Subianto- Sandiaga Uno

Berdasarkan berkas permohonan sengketa hasil pemilihan presiden yang disampaikan ke MK pada 24 Mei 2019, pemohon mendalilkan bahwa DPT yang digunakan tidak masuk. Disebutkan ada 17,5 juta pemilih dalam DPT memiliki tanggal lahir yang sama, ada 20.475 pemilih berusia di bawah 17 tahun, dan sebagainya. Lalu, pemohon mempersoalkan banyaknya kesalahan input dalam situng yang mengakibatkan ketidaksesuaian data situng dengan data C1 di 34 provinsi.

Mengenai adanya 17,5 juta pemilih dengan tanggal lahir yang sama, Ali Nurdin, Kuasa Hukum KPU menjawab hal tersebut bukan rekayasa, karena riil dan ada buktinya. "Ada banyak orang yang tidak tahu tanggal lahirnya sehingga itu dimasukkan sebagai pemilih yang lahir tanggal 1 Januari, 1 Juli, dan 31 Desember."

Hal berikutnya yaitu situng, sudah saya jelaskan pada artikel saya sebelumnya, bahwa situng berfungsi sebagai bentuk tranparasi proses rekapitulasi. Penetapan perolehan suara tidak berbasis situng, melainkan ditetapkan berdasarkan rekapitulasi manual berjenjang yang melibatkan jajaran KPU.

Lalu ada tuduhan C7 dihilangkan, Ali menjawab posisinya ada di dalam kotak suara. KPU telah menyerahkan bukti-bukti yang dibutuhkan berasal dari 11 provinsi, yang lain akan menyusul.

Perbaikan Permohonan Sengketa Pilpres Bertentangan dalam Peraturan MK dan UU Pemilu

Pihak Bawaslu  Abhan, Ketua Bawaslu juga mengemukakan bahwa pihaknya hanya akan memberikan keterangan berdasarkan permohonan awal yang diajukan pada 24 Mei 2019. Bawaslu hingga kini belum menerima perbaikan permohonan yang diajukan ke MK pada 10 Juni 2019. Terkait dengan perbaikan permohonan sengketa pilpres ini, Fajar Laksono Soeroso, Kepala Bagian Humas dan Kerja  Sama Dalam Negeri MK menuturkan, hal ini sebetulnya tidak diatur dalam peraturan MK mengenai tata cara sengketa hasil pilpres. Namun, jika hal ini ingin disampaikan, berkas akan diterima. "Apakah perbaikan itu memenuhi ketentuan formil atau tidak, diserahkan atau menjadi otoritas hakim," kata Fajar.

Salah satu argumen dalam berkas perbaikan permohonan sengketa tersebut bahwa capres-cawapres Joko Widodo - Ma'ruf Amin didiskualifikasi disebabkan posisi Ma'ruf Amin masih menjabat salah satu jabatan tertentu ketika sudah mencalonkan atau ketika mencalonkan diri. "

Tim Hukum Jokowi-Amin juga mengajukan keberatan terhadap materi permohonan Prabowo-Sandi ini. Yaitu dalil permohonan tidak sesuai wewenang MK yang diatur Undang-Undang Pemilu, yakni terkait hasil sengketa pemilu. Seperti yang sudah saya jelaskan di awal.

Kembali ke MK

Pasal 475 Ayat (2) UU No. 7/2017 menentukan bahwa keberatan yang diajukan ke MK hanya keberatan terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi terpilihnya pasangan calon, walaupun terbukti, tentu ditolak oleh MK.

Sebagai contoh, pemohon mengajukan keberatan atas pelanggaran penyebab hilangnya suara pemohon, sedangkan selisih perolehan suara pemohon dengan yang terpilih menurut KPU adalah tujuhbelas  juta suara. Anggaplah hal ini terbukti satu juta karena pelanggaran TSM, keberatan otomatis langsung ditolak oleh MK karena tidak terpengaruh jumlah suara keterpilihan. Selisihnya jauh, sayang. Jadi, benarkah keberatan pihak Prabowo-Sandiaga layu sebelum berkembang ? (***)

Sumber : harian Kompas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun