Mohon tunggu...
Lisa Noor Humaidah
Lisa Noor Humaidah Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat buku dan tulisan

Tertarik pada ilmu sosial, sejarah, sastra dan cerita kehidupan. Bisa juga dijumpai di https://lisanoorhumaidah.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi Syawalan: Tradisi Penuh Makna, Tradisi Saling Menguatkan

30 Mei 2020   20:54 Diperbarui: 30 Maret 2024   17:25 1389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arak-arakan Gunungan Syawalan di Rembang, Jawa Tengah. Sumber: Saiful Anwar/Radar Kudus, radarkudus.jawapos.com

Clifford Geertz dalam bukunya The Interpretation of Cultures (1973) mengutip Antroplogist  Clyde Klukhon mendefinisikan tentang kebudayaan/tradisi sebagai berikut ini: 1) keseluruhan cara hidup manusia; 2) warisan sosial yang diperoleh oleh individu dan kelompok; 3) cara berfikir, merasakan, meyakini; 4) suatu abstraksi dari perilaku; 5) teori tentang cara bagaimana kelompok manusia berperilaku; 6) tentang sekumpulan pembelajaran; 7) seperangkat orientasi standar untuk mengatasi masalah yang berulang; 8) perilaku yang dipelajari; 9) mekanisme bagi regulasi perilaku normative; dan 10) pengendapan sejarah.

Geertz juga mengamini pendapat Max Weber yang meyakini manusia ibarat hewan laba-laba yang hidup tergantung dalam jejaring makna yang dirajutnya sendiri. Budaya ibarat jejaring itu. Geertz melihat budaya bukanlah ilmu eksperimental yang bertujuan menguak hukum-hukum, tetapi sebuah model penafsiran yang tujuannya mencari makna.  

Pengendapan nilai-nilai sejarah dan makna ini terasa sekali pada momen-momen perayaan Idul Fitri seperti sekarang ini. Jika tak ada Corona, saat ini (insya alloh) sedang mudik ke kampung halaman Pati dan Kudus, Jawa Tengah. Dan pada hari-hari menjelang kembali ke pinggiran Ibu Kota, hampir menjumpai tradisi Syawalan/Kupatan/Hari Raya Kecil. Inilah puncak perayaan lebaran. Menandai sepekan setelah hari Raya Idul Fitri atau 6 hari puasa sunnah Syawal.

Di Kudus sendiri paling tidak Syawalan dirayakan di tujuh lokasi berbeda: 1) Parade Sewu Kupat Sunan Muria di Desa Colo, Dawe, 2) Bulusan di Desa Hadipolo, Jekulo, 3) Lomban di Desa Kesambi, Mejobo, 4) Syawalan di Sendang Jodo Bae, 5) Syawalan di Sendang Dewot, Desa Wonosoco, Undaan, 6) Syawalan di Taman Krida Wisata dan 7) Syawalan di Museum Kretek. Perayaan di dua tempat terakhir lebih untuk menarik wisatawan/pemudik dari luar daerah Kudus.

Sedangkan di tempat wisata pantai seperti di daerah Jepara dan Rembang 'Pesta Syawalan' biasanya dilengkapi dengan kemeriahan pentas musik alias Dangdutan khas Pantura. Baliho berisi ajakan datang dipasang meriah dimana-mana termasuk pengumuman di waktu-waktu kunci di radio. Pentas musiknya dikemas Islami. Sebelum bergoyang pinggul, para biduan menyapa dengan salam dan ucapan lebaran, dan terkadang kutipan hadits soal silaturahmi. Kolaborasi yang menyesuaikan dengan konteks. Sangat khas menggambarkan ciri masyarakat pesisir dengan kesenian yang relatif terbuka dan apa adanya menggambarkan realitas yang sesungguhnya.

Lagu-lagu yang dilantunkan selain berirama gambus timur tengah tentu saja lagu-lagu Dangdut yang cukup populer di telinga yang biasanya bertema soal kenangan, patah hati, kerinduan dan cinta yang tak direstui. Pas dinikmati oleh mereka, para pemudik, yang sedang napak tilas memori.

Terdengar meriah bukan. Apalagi Pasar menjelang Syawalan, biasanya hiruk pikuk disesaki pengunjung dengan dominasi Janur dan Ketupat dijual hampir di semua bagian.

Tradisi Kupatan/Syawalan ini memang sarat makna. Makanan Ketupat itu sendiri adalah simbol utamanya. Menurut sejarah yang diulas singkat dan informatif di tulisan ini, saya kutip beberapa paragraph penting tentang Ketupat sebagai simbol perayaan hari raya ini,

Menurut H.J. de Graaf dalam Malay Annal, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Patah awal abad ke-15. De Graaf memperkirakan kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa. Warna kuning pada janur dimaknai oleh de Graff sebagai upaya masyarakat pesisir Jawa untuk membedakan warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.

Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa, yang membangun kekuatan politik dan penyiaran agama Islam dengan dukungan Walisongo (sembilan wali). Ketika menyebarkan Islam ke pedalaman, Walisongo melakukan pendekatan budaya agraris, tempat unsur keramat dan berkah sangatlah penting untuk melanggengkan kehidupan. Di sinilah pentingnya akulturasi. Raden Mas Sahid, anggota Walisongo yang tersohor dengan panggilan Sunan Kalijaga, lalu memperkenalkan dan memasukkan ketupat, simbol yang sebelumnya sudah dikenal masyarakat, dalam perayaan lebaran ketupat, perayaan yang dilaksanakan pada tanggal 8 Syawal atau sepekan setelah hari raya Idul Fitri dan enam hari berpuasa Syawal.

Ditambahkan lagi menurut Slamet Mulyono dalam Kamus Pepak Basa Jawa, kata ketupat berasal dari kupat. Parafrase kupat adalah ngaku lepat: mengaku bersalah. Janur atau daun kelapa yang membungkus ketupat merupakan kependekan dari kata “jatining nur” yang bisa diartikan hati nurani. Secara filosofis beras yang dimasukan dalam anyaman ketupat menggambarkan nafsu duniawi. Bentuk ketupat melambangkan nafsu dunia yang dibungkus dengan hati nurani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun