Mohon tunggu...
Callmelio
Callmelio Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Pelita Harapan.

Saya adalah mahasiswa yang rajin dan gemar menabung. Menabung tulisan lebih tepatnya. Selamat datang di Callmelio ^_^

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Campur Aduk dalam Bahasa Indonesia

28 Januari 2021   12:34 Diperbarui: 28 Januari 2021   14:55 2631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Fenomena campur aduk bahasa kembali menjadi perhatian publik. Bermula dari gaya bahasa anak-anak muda di Jakarta Selatan yang terkenal dengan gaya bahasa campurannya. Bahkan, muncul suatu istilah “Bahasa Jaksel” yang dalam penggunanaannya mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dalam bertutur dengan yang lain. Tidak hanya itu, anak-anak muda menganggap penggunaan  bahasa campur aduk ini lebih keren dan lebih mengeskpresikan diri ketika menyampaikan sesuatu.

Namun, ternyata penggunaan bahasa campur aduk ini lebih terkesan “gado-gado” karena penempatan kata yang sering salah, pengulangan yang tidak efektif, dan cenderung mubazir. Bahkan, penggunaan bahasa campur aduk ini bisa saja mengaburkan makna sesungguhnya dari apa yang ingin disampaikan.

Menyikapi fenomena tersebut, sebenarnya campur aduk dalam bahasa bukanlah hal yang baru. Dalam dunia linguistik, fenomena ini dikenal sebagai campur kode (code mixing). Contoh yang paling sering digunakan adalah fine, litteraly, which is, so,  dll. 

Menurut Nababan, campur kode merupakan keadaan ketika seseorang mencampur dua kata (atau lebih) bahasa dalam bertutur (Nababan P, 1993). Seperti, menyisipkan kata-kata dari bahasa lain dalam kalimatnya ketika sedang memakai suatu bahasa tertentu.

Di Indonesia sendiri, campur aduk bahasa sebenarnya bukanlah hal yang asing karena sebagian besar masyarakat Indonesia setidaknya memiliki dua bahasa atau dwi bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Namun, hal ini menjadi berbeda ketika mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Karena, pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa daerah, lebih mengarah pada suatu pertimbangan dengan lawan bicara atau hadirnya penutur ketiga yang berbeda bahasa. Misalnya, ketika ada dua orang jawa yang berbicara menggunakan bahasa Jawa, lalu datang seorang teman dari Sumatera Utara. Maka, kedua orang Jawa itu pun mengganti bahasanya menjadi bahasa Indonesia agar dimengerti oleh orang Sumatera Utara tersebut.

Sedangkan, pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris ala anak Jaksel lebih mengarah pada suatu hierarki, seperti yang dikatakan oleh Devie Rahmawati seorang pengamat sosial budaya dari Universitas Indonesia, bahwa penggunaan bahasa Inggris di dalam bahasa Indonesia dianggap dapat mengangkat derajat seseorang yang menuturnya. Sependapat dengan Devie Rahmawati, Ivan Lanin, seorang pakar bahasa dan penulis buku “Xenoglosofilia, Kenapa Harus Nginggris?”, mengatakan bahwa, pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris dilakukan hanya sebagai usaha untuk menunjukkan tingkat intelektualitas yang tinggi. Padahal sebenarnya, bahasa campur aduk merupakan ketidakmampuan menyusun suatu kalimat, memilih kosa kata, serta ketidakteraturan dalam berpikir.

Namun, bertentangan dengan pendapat di atas, campur aduk antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris bukanlah suatu masalah dan merupakan hal yang wajar bahkan Budayawan Betawi Ridwan Sadi, mengatakan bahwa, campur aduk bahasa ini merupakan tingkah kreatif dan tidak merusak pola bahasa. Tidak hanya itu, bahasa Inggris merupakan bahasa Internasional yang digunakan dalam berbagai aspek. Tetapi, walaupun bahasa Inggris merupakan bahasa Internasional, kita haruslah tetap menjunjung tinggi bahasa persatuan dan mengapresiasi bahasa Indonesia.

Penutur lebih baik tidak menggunakan istilah asing karena bisa saja mengakibatkan tenggelamnya bahasa Indonesia karena campur kode tersebut, atau hilangnya makna dari apa yang ingin disampaikan, dan seperti yang kita ketahui bersama, bahwa kosa kata asing lebih cepat menyerap dari pada padanananya dalam bahasa Indonesia. Tidak hanya itu, penggunaan bahasa Indonesia juga merupakan wujud mempertahankan suatu bahasa agar tidak tersingkir dan terasingkan. Maka, sebagai anak-anak muda yang akan menjadi ahli waris suatu bangsa, mari kita sama-sama menggelorakan semangat berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Untuk mendukung pernyataan di atas, mari sama-sama membaca sumber dibawah ini untuk memperluas wawasan kita mengenai campur kode atau code mixing serta beberapa pendapat para ahli bahasa dan budayawan. 

Sumber

Friana, H. (2018, September 6). Tirto.id. Retrieved Desember 5, 2020, from Tirto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun