Mohon tunggu...
Retno Septyorini
Retno Septyorini Mohon Tunggu... Administrasi - Suka makan, sering jalan ^^

Content Creator // Spesialis Media IKKON BEKRAF 2017 // Bisa dijumpai di @retnoseptyorini dan www.retnoseptyorini.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Jangan Takut Melapor Jika Terjadi atau Melihat Kejahatan, Ada LPSK!

22 November 2018   00:00 Diperbarui: 22 November 2018   00:11 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar, sekolah saya itu berada tepat di belakang tempat kerja bapak. Jadi bisa ditebak, kalau bapak tidak pergi ke cabang yang lain, ke sekolahnya pasti nebeng bapak. Nanti pulangnya baru dijemput ibu. Jadilah frekuensi motoran maupun sepedaan di sepanjang jalan menuju sekolah cukup terpatri di ingatan.

Suatu pagi di musim kampanye, tepatnya saat melewati perempatan yang terletak di tengah desa terdengarlah suara khas motor yang digembar-gemborkan begitu keras. Gubrak! Jadilah saya yang awalnya duduk manis di jok belakang sepeda motor tetiba saja saya sudah nangkring di atas tanaman teh-teh'an. Jenis tanaman berdaun kecil nan rimbun yang biasa ditanam hingga setinggi satu meter lebih. Karena sengaja ditanam setinggi itu, banyak tetangga yang kerap memanfaatkannya sebagai "benteng" alami alias pembatas tanah warga dengan jalan.

Terang saja saya kaget lalu menangis. Diantara kekalutan pagi itu, saya melihat orang yang bertabrakan dengan kami itu langsung menyembunyikan berbagai atribut yang terlanjur dipakai. Kabar baiknya, urusan kami pagi itu berakhir dengan cara kekeluargaan.

***

Berpuluh tahun kemudian, bapak sahabat saya mengalami kejadian serupa, kecelakaan motor. Saat itu Pak Amar (bukan nama sebenarnya) sampai harus menjalani rawat inap selama beberapa waktu. Bedanya, setelah terjadi kecelakaan, pengendara motor yang menabrak bapak teman saya itu tidak mengaku bersalah sekaligus tidak mau bertanggung jawab.

Malah di lain hari iasempat mengajak seorang kerabat "berpangkat" yang dirasa akan membantunya berkelit. Tak disangka, kerabat yang ia bawa ternyata kenal baik dengan keluarga kawan saya yang waktu itu posisinya sebagai korban. Tak ayal, si penabrak pun harus menelan kekecewaan sembari menanggung malu berkali lipat. Sudah salah, bawa saudara yang tidak tahu apa-apa dengan dalih punya kenalan orang yang "berpengaruh", eh ujung-ujungnya nggak berarti apa-apa.

Sebenarnya keluarga kawan saya tidak menuntut ganti rugi secara materi. Mereka hanya menginginkan permintaan maaf atas kesalahan telah ugal-ugalan di jalan, tentu dengan harapan agar si anak dapat intropeksi diri dan lebih hati-hati lagi saat berkendara sehingga kejadian ini tidak terulang lagi.

***

Di hari lain, kawan saya juga pernah mengalami penodongan saat akan turun dari bus. Meski sadar tengah ditodong, namun karena kaget campur takut, pada akhirnya ia merelakan handphone kesayangannya diambil penjahat. Waktu itu ia hanya cerita ke teman di kampus. tanpa melapor pada pihak berwajib. Dan ternyata kawan saya lainnya juga pernah mengalami kejadian serupa saat tengah menikmati weekend di salah satu pasar kaget di Jogja.

Minggu pagi kala itu ia jelas merasa ada yang mengambil sesuatu dari tasnya. Seingatnya, si pencuri mengenakan baju putih. Setelah diingat-ingat, ternyata kejahatan di keramaian semacam ini ternyata sudah direncana. Bayangkan saja, di hari itu ada beberapa orang berbaju putih yang tiba-tiba saja mendekati teman saya. Setelah barang curian berhasil digenggam, barang tersebut akan langsung dioper beberapa kali.

Tujuannya bisa ditebak, bukan? Ya, untuk menghilangkan jejak! Canggihnya lagi hal ini hanya berlangsung sekian detik. Begitu rapi dan terlatih! Lagi-lagi, kawan saya tidak melapor ke pihak berwenang. Cocok sekali dengan data sebuah berita yang dirilis Juli tahun ini yang menyebutkan bahwakorban kejahatan sebenarnya meningkat, namun laporannya justru menurun.

Korban Kejahatan Meningkat, Laporannya Justru Menurun

Survei Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2017 menunjukkan data yang cukup mencengangkan dimana korban kejahatan meningkat tahun 2017 meningkat 32,7 persen dari tahun sebelumnya. Detailnya ada sekitar tahun 2016 ada sekitar 0,9 persen dari total penduduk Indonesia mengaku menjadi korban kejahatan pada 2016. Data tersebut meningkat menjadi 1,2 persen di tahun 2017. Sayangnya sepanjang tiga tahun sejak 2015, hanya sekitar 18% korban yang melapor ke polisi.

Tentu ada banyak alasan mengapa fenomena penurunan jumlah pelaporan korban kejahatan di Indonesia terbilang rendah. Mulai dari asumsi melaporkan perkara menelan biaya, lamanya proses penyidikan hingga takutnya status saksi atau korban berganti menjadi tersangka ataupun terlapor karena laopran balik dari lawan.

Apalagi jika yang terjadi merupakan kasus asusila yang begitu merugikan korban baik secara materiil maupun secara moril. Belum lagi cap negatif masyarakat terhadap korban perkosaan. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Berkaca pada berbagai kasus tindak asusila yang terjadi pada kaum hawa, ada saja alasan pembenaran yang dilakukan pihak yang tidak bertanggung jawab. Satu yang kerap muncul ke permukaan adalah penggiringan isu ke hal-hal yang tidak substansial seperti cara berpakaian korban, kurangnya kewaspadaan korban atau malah kadung menyalahkan orang tua korban yang dinilai kurang memberikan perlindungan pada anak.

Sebuah penilaian masyarakat yang seringkali masih berat sebelah. Tidak heran jika sebuah survai yang menyatakan bahwa lebih dari 90% korban kekerasan seksual tidak melaporkannya ke pihak yang berwajib.

Data yang diperoleh dari 25.213 responden yang disurvei secara daring tersebut menyatakan bahwa sekitar 6,5% atau 1.636 orang korban pemerkosaan, 93%nya tidak melapor karena takut akibat dengan konsekuensinya sebagai pelapor.

Padahal selain memiliki undang-undang yang melindungi hal pelapor (baik saksi ataupun korban), Indonesia memiliki lembaga khusus yang bertugas memberi jaminan keamanan bagi para saksi maupun korban kejahatan. LPSK namanya, singkatan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang tugas dan kewenangannya diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014.

Lebih detail lagi, dijelaskan bahwa selain bantuan medis dan psikologis, LPSK juga mendapatkan amanat dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban untuk memberikan bantuan rehabilitasi psikososial. Guna menyukseskan amanat undang-undang tersebut, tentu diperlukan sinergi yang baik antara LPSK dengan berbagai pihak, termasuk kementerian di Indonesia, seperti Kementerian Tenaga Kerja.

Harapan di Bawah Kepemimpinan Baru LPSK

Di bawah kepemimpinan baru pengurus LPSK periode 2018-2023 tentu membawa harapan baru bagi para korban maupun saksi tindak kejahatan. Dalam rangka menyukseskan tugas berat LPSK, kini lembaga ini tidak untuk berbagi informasi dalam berbagai diskusi public yang digelar di berbagai kota di Indonesia. Selain digelar tahun lalu, esok hari, Kamis, 22 November 2018, LPSK kembali hadir di Jogja melalui Seminar bertajuk "Perlindungan Hak-Hak Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Kini dan Masa Depan".

Selain bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat luas pada hak korban di mata hukum, diskusi dua arah yang digelar atas kerjasama LPSK dengan Fakultas Hukum UGM: Magister Ilmu Hukun dan LLM Program ini tentu dihelat dengan harapan dapat menjadi media publikasi yang efektif dalam menyebarkan berbagai hak yang dapat diperoleh masyarakat yang tengah berjuang menggapai keadilan, baik dalam posisinya sebagai korban maupun saksi kejahatan.

Semoga ke depannya tidak ada lagi korban ataupun saksi kejahatan yang enggan melapor karena ketakutan.

Salam hangat dari Jogja,

-Retno-

Sumber:

Adzkia, A., Korban Kejahatan Meningkat, Laporannya Justru Menurun, 2018, diakses dari https://beritagar.id/artikel/berita/korban-kejahatan-meningkat-laporan-justru-menurun

Hak Saksi Dan Korban Kejahatan Luar Biasa Harus Dipenuhi, 2016, diakses dari http://sp.beritasatu.com/home/hak-saksi-dan-korban-kejahatan-luar-biasa-harus-dipenuhi/108858

Survei: 93 Persen Kasus Pemerkosaan di Indonesia Tidak Dilaporkan, 2016, diakses dari https://www.voaindonesia.com/a/survei-93-persen-pemerkosaan-tidak-dilaporkan/3434933.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun