Mohon tunggu...
Retno Septyorini
Retno Septyorini Mohon Tunggu... Administrasi - Suka makan, sering jalan ^^

Content Creator // Spesialis Media IKKON BEKRAF 2017 // Bisa dijumpai di @retnoseptyorini dan www.retnoseptyorini.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Energi Baik dari Tepian Sungai Jelai

15 Agustus 2018   23:50 Diperbarui: 16 Agustus 2018   00:53 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Susilawati, Guru SD N Basirih 10 (dokumentasi pribadi)

Pagi itu terasa berbeda. Hawa dingin yang terasa lenyap seketika saat melihat puluhan jukung didayung oleh anak-anak yang berseragam putih merah. Seragam khas anak sekolah yang duduk di bangku sekolah dasar.

Belum hilang decak kagum saya usai melihat teknik berenang adik-adik di tepian Sungai Kuin, pagi ini saya kembali dikejutkan dengan semangat murid-murid SD Negeri Basirih 10 yang lewat tepat di samping klotok yang  sedang kami tumpangi. Menariknya, mereka terlihat biasa saja saat menyusuri sungai. Sebelas dua belas dengan anak-anak di darat yang sedang berjalan menuju sekolah.

Tak berselang lama dari unforgettable moment ini, terdengar pula suara mesin klotok yang bertuliskan layanan antar jemput sekolah di sisi samping perahu. Klotok merupakan sebutan untuk perahu kayu bermesin yang banyak digunakan di sekitar Pulau Kalimantan. Bunyi tok, tok, tok yang terdengar dari mesin perahu inilah yang menjadi cikal bakal sebutan klotok pada perahu kayu bermesin ini.

“Wah, ternyata tidak hanya murid-muridnya saja yang ke sekolah dengan susur sungai, tapi bapak dan ibu guru juga menggunakan jalur serupa. Tidak sabar rasanya untuk menyapa sekaligus menimba inspirasi dari mereka semua”, batin saya dalam hati.

Benar kiranya, bahwa kita ini kaya karena berbeda. Elok dan terpeliharanya peradaban sungai di kawasan ini menjadi bukti nyata betapa kayanya ragam budaya Indonesia.

Sekitar 15 menit kemudian, sampailah kami di dermaga SD Negeri Basirih 10. Sebuah SD sederhana yang terletak di tepi Sungai Jelai, Banjarmasin.

Bertemu Energi Baik dari Tepian Sungai Jelai

Cerita ini bermula tatkala saya ditugaskan untuk melakukan pemetaan potensi ekonomi kreatif lokal yang terdapat di Banjarmasin. Kota cantik di Kalimantan Selatan yang dikenal luas dengan sebutan kota seribu sungai.

Keberadaan ratusan sungai di kota kecil ini tentu menimbulkan tanda akan besarnya potensi ekonomi keatif yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Kegiatan survai potensi melalui susur sungai inilah yang membawa saya dan tim sampai di sekolah unik ini.

Sesampainya di halaman sekolah, kami disambut oleh beberapa guru yang mengajar di sana. Sesaat kemudian kami mulai berpencar mencari materi yang dibutuhkan untuk keperluan survai. Maklum saja, setiap malam kita ada laporan terbuka antar anggota tim.

Tak berapa lama kemudian, saya berkesempatan berbincang dengan guru muda bernama Ibu Susilawati.

***

“Sekolah kita ini dikenal pula dengan sebutan sekolah belakang, Mbak. Jika dibandingkan dengan sekolah depan, murid kami terbilang sedikit. Maklum saja, murid yang bersekolah di sini itu biasanya merupakan anak yang tidak diterima atau yang telat didaftarkan di sekolah depan”, jelas ibu paruh baya yang saya temui Juli tahun lalu.

Sekolah depan yang dimaksud di sini merujuk pada salah satu sekolah dasar yang berada satu rayon dengan SD Negeri Basirih 10.

“Mungkin ketiadaan akses jalan via darat menuju sekolah menjadi salah satu penyebab sedikitnya murid di sekolah ini”, batin saya pagi itu.

***

Dari sekian banyak pengajar yang pernah saya temui, guru yang tidak pernah menyerah saat ditempatkan di “sekolah nomor dua” selalu menorehkan kekaguman tersendiri. Memang benar, energi baik itu kadang tersembunyi di tempat yang tidak terduga. Meski tanpa terekam dalam berita, namun mereka tetap giat dalam bekerja. Ibu Susilawati ini contohnya. Salah satu pengajar semua mata pelajaran sekaligus wali murid kelas 1 SD Negeri Basirih 10.

Setelah berkenalan dan berbincang sejenak, saya pun memberondong Bu Susilawati dengan berbagai pertanyaan yang menggelitik pikiran saya sejak dalam perjalanan menuju sekolah unik ini.

“Sudah berapa lama ibu mengajar di sini?, ucap saya pelan sembari bersalaman dengan Salwa. Puteri pertama Ibu Susilawati yang diajak ke sekolah sejak berumur 2 bulan.

“Saya mengajar sejak tahun 2008, Mbak. Waktu itu jumlah keseluruhan anak didik kami hanya 50 murid saja. Saya ingat betul waktu pertama kali mengajar di sini itu murid yang duduk di bangku kelas VI hanya dua orang saja. Jauh berbeda dengan jumlah murid saat ini yang mencapai puluhan anak di setiap kelasnya”, paparnya sembari tersenyum.

  “Entah terbuat dari apa hati ibu guru yang saya temui kali ini”, batin saya dalam hati. Sebagai sesama wanita, peran Bu Susilawati, baik sebagai ibu maupun pengajar yang begitu berdedikasi sungguh menginspirasi. Apalagi jika mendengar ajaran kebaikan yang diajarkan pada anak didiknya itu.

Perjalanan Guru dan Sebagian Murid SD N Basirih 10 (dokumentasi pribadi)
Perjalanan Guru dan Sebagian Murid SD N Basirih 10 (dokumentasi pribadi)

Cerita Tentang Jukung dan Klotok

“Kegiatan belajar mengajar di sini itu baru akan dimulai setelah semua murid sampai di sekolah”, cerita Bu Susilowati kemudian.

“Selain memanfaatkan klotok layanan antar jemput sekolah seperti yang saya naiki tadi, ada pula murid-murid yang pergi ke sekolah naik jukung. Sebutan untuk perahu kayu pergerakannya didayung secara manual dengan tenaga manusia”.

“Kalau anaknya masih kecil biasanya diantar orang tua. Setelah dinilai mahir menggunakan jukung, mereka dibekali jukung sebagai alat transportasi menuju sekolah. Satu jukung berukuran kecil dapat dinaiki tiga anak.”, tambahnya kemudian.

Saya pun mengangguk tanda mengerti.

Saat berada di sungai saya pun sempat mengamati kerjasama yang apik yang terjalin antar penumpang jukung. Kalau jukungnya buat bertiga, dua anak yang ada di depan dan di belakang perahu bertugas mendayung jukung. Sedangkan yang berada di tengah bertugas membuang air yang masuk ke dalam perahu.

Satu lagi, jika ada penumpang klotok maupun jukung yang belum datang, mereka tidak akan ditinggal lho! Jam pelajaran pun akan dimulai setelah semua murid hadir di sekolah!

Wah, keren sekali anak-anak ini! Kecil-kecil sudah pandai berempati dan berkolaborasi! Jhoss bener!”, pekik saya dalam hati.

Sayangnya, karena keterbatasan waktu, selang satu setengah jam kemudian klotok kami mulai meninggalkan sekolah keren ini.

***

Suasana Kegiatan Belajar di SD N Basirih 10 (dokumentasi pribadi)
Suasana Kegiatan Belajar di SD N Basirih 10 (dokumentasi pribadi)
Betapa kagetnya saya, selang tiga bulan kemudian, tatkala saya kembali di melewati sekolah ini untuk keperluan pekerjaan, saya melihat ada pembangunan jalan darat yang dibangun tak jauh dari SD N Basirih 10. Begitu pula dengan dermaga sekolah yang mengalami perbaikan.

Selain menginspirasi, saya percaya bahwa energi baik menular. Keteguhan hati para pendidik di sekolah ini akhirnya berbuah manis. Dukungan pemerintah pada akses pendidikan merupakan cara yang ampuh untuk memangkas lingkar kemiskinan sekaligus kawah candradimuka untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesi di kemudian hari.

Salam hangat dari Jogja,

-Retno Septyorini-

Artikel ini diikutkan dalam Lomba Blog Bertajuk Energi Baik Untuk Kehidupan yang Diselenggarakan Atas kerjasama Perusahaan Gas Negara dan Kompasiana.

Artikel ini diikutkan dalam Lomba Blog Bertajuk Energi Baik Untuk Kehidupan yang Diselenggarakan Atas kerjasama Perusahaan Gas Negara dan Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun