Mohon tunggu...
Lintang Chandra
Lintang Chandra Mohon Tunggu... -

Seorang pemikir bebas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ujung Galuh Bukan Surabaya??

22 Oktober 2014   01:38 Diperbarui: 21 Agustus 2017   16:42 4000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya berpikir beberapa kali untuk memposting topik ini, karena konsekuensinya saya bisa dicaci maki orang se-Surabaya karena menjungkir-balikkan sejarah Kota Surabaya yang dikenal sekarang ini. Jadi sebelumnya harap tulisan opini sejarah ini ditanggapi dengan arif sebagai upaya pelurusan sejarah semata-mata tanpa suatu prasangka sentimen stereotip.

Ada sebuah pertanyaan besar: Mengapa UJUNG GALUH selalu diidentikkan dengan Kota Surabaya? Dasarnya apa?. Ujung Galuh umumnya diidentikkan dengan Kota Surabaya hanya berdasarkan cocoklogi (gothak-gathuk) belaka. Sejarahwan ada yang berpendapat bahwa Hujung = Tanjung sedangkan Galuh = Emas atau Perak, sehingga disimpulkan bahwa Ujung Galuh identik dengan Tanjung Perak, yaitu sebuah lokasi pelabuhan laut yang sekarang berada di ujung utara Kota Surabaya.

Ada pendapat bahwa Ujung Galuh berasal dari toponimi Kampung Galuhan di daerah Bubutan-Surabaya. Barangkali hanya Von Faber saja satu-satunya sejarahwan yang membuat hipotesa bahwa kampung Galuhan di Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 Ms. Tampaknya teori Von Faber inilah yang dijadikan rujukan utama oleh para perumus sejarah Kota Surabaya. Hipotesis Faber ini kurang dapat dipertanggungjawabkan, sebab sama sekali tidak ada bukti bahwa peristiwa penumpasan pemberontakan Kemuruhan itu terjadi di sekitar kampung Galuhan.

Perlu digarisbawahi terlebih dulu bahwa nama Desa Surabaya (Cura Baya) itu sudah ada sejak jaman Majapahit dan namanya disebutkan dalam Negarakertagama. Sebaliknya Negarakertagama sama sekali tidak menyebut tentang Ujung Galuh sebagai lokasi yang sama atau setidaknya berdekatan dengan Desa Cura Baya. Jadi anggapan bahwa Ujung Galuh dan Cura Baya adalah suatu wilayah yang sama perlu untuk dikoreksi. Hal ini didukung pendapat Pigeaud yang menafsirkan lokasi Cura Baya dalam Kakawin Negarakertagama adalah cikal bakal toponimi Surabaya dan lokasinya termasuk di wilayah Kota Surabaya sekarang. Tetapi anehnya mengapa Pigeaud dalam bukunya “Java in the Fourteenth Century” yang terbit tahun 1962, menyatakan bahwa lokasi Ujung Galuh belum diketahui secara pasti? Sungguh ironis.

Menurut pendapat M. Yamin lokasi Ujung Galuh di peta menunjuk pada daerah Pelabuhan Tlocor Sidoarjo yang berbatasan dengan Pasuruan sekarang. Hal ini mungkin didasarkan adanya aliran besar sungai brantas yang bermuara ke Pelabuhan Tlocor. Namun sampai saat ini tidak ada bukti-bukti artefak apapun yang mendukung teori Yamin ini. Artefak kuno di wilayah Sidoarjo justru banyak terakumulasi jauh di sebelah barat, yaitu di daerah Krian, antara lain Prasasti Kamalagyan dan ceceran situs-situs kuno di Desa Balongbendo dari jaman Airlangga. Lagipula letak pelabuhan Tlocor terlalu jauh ke timur dan tentu sukar disinggahi kapal-kapal yang berasal dari Sumatera dan dari mancanegara khususnya Bangsa Tar-Tar (Mongol).

Teori M.Yamin tampaknya juga masih lemah karena tidak didukung oleh keterangan sejarahwan lain. Namun setidaknya kita dapat menyimpulkan bahwa hingga era founding fathers ternyata lokasi Ujung Galuh masih simpang siur. Belum ada kesepakatan bahwa Ujung Galuh adalah Surabaya. Klaim bahwa Ujung Galuh adalah Surabaya adalah produk perumus sejarah Kota Surabaya yang dilakukan belakangan. Klaim itu dipublikasikan sedemikian rupa sehingga mengabaikan kemungkinan bahwa lokasi Ujung Galuh berada di tempat lain.

Jika kita mau jujur, sebenarnya Surabaya pada masa lampau adalah hamparan rawa dan hutan mangrove. Terbentuknya delta Surabaya hingga sampai dapat ditempati pemukiman itu berlangsung belakangan. Hal ini yang menjadi alasan mengapa di Surabaya nyaris tidak ada artefak kerajaan kuno. Satu-satunya artefak kuno hanyalah Patung Joko Dolog yang diperkirakan dibuat pada akhir jaman Kerajaan Singhasari. Patung itu pun sebenarnya asalnya dari Trowulan yang dipindahkan ke sana pada masa pemerintah Hindia Belanda. Miskinnya artefak kuno menunjukkan bahwa Surabaya kuno bukanlah bagian dari peradaban kuno yang penting di Jawa Timur.

Fakta di atas tentu sangat bertolak belakang dengan deskripsi tentang Ujung Galuh berdasarkan keterangan Prasasti Kamalagyan (1037 Ms) dimana Ujung Galuh sejak jaman Raja Airlangga sudah dijadikan pelabuhan penting dan sangat ramai aktivitas pedagangannya. Jika Ujung Galuh adalah Pelabuhan Tanjung Perak, maka deskripsi ini tidak cocok dengan sejarah Ampel Denta yang letaknya dekat dengan Pelabuhan Tanjung Perak. Keberadaan pesantren Ampel Denta baru muncul pada era akhir Majapahit yaitu pada tahun 1421Ms ketika Raden Rahmad (Sunan Ampel) diberi tanah Ampel Denta oleh Raja Brawijaya. Tanah tersebut diberikan karena masih berupa hamparan hutan dan belum berpenghuni. Raden Rahmad bahkan diberikan modal untuk membangun wilayah tersebut sehingga menjadi peradaban yang lebih maju. Bayangkan jika Tanjung Perak dikatakan sebagai pelabuhan yang sudah ramai pada tahun 1037Ms, lalu hampir 4 abad kemudian di tahun 1421Ms dikatakan bahwa wilayah di Ampel Denta yang dekat dengan Tanjung Perak ternyata masih belum berpenghuni.

Perjalanan Raden Rahmad dari Trowulan menuju Ampel Denta di Surabaya utara menyusuri lebih dulu daerah Surabaya selatan melewati Pelabuhan Bungkul dan bertemu dengan Empu Supo yangkemudian dikenal dengan Sunan Bungkul. Makam Sunan Bungkul merupakan situs paling kuno yang dimiliki Surabaya, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada era akhir Majapahit, peradaban Surabaya memang baru muncul di wilayah selatan. Berdasarkan keterangan Prasasti Canggu (1358 Ms) hanya disebutkan adanya Pelabuhan Bungkul di wilayah Curabaya sebagai pelabuhan akhir yang paling timur dari aliran sungai brantas dan sama sekali tidak menyinggung tentang keberadaan Ujung Galuh di sana. Dengan demikian jelas bahwa pembangunan peradaban di Surabaya utara termasuk pemberdayaan Pelabuhan Tanjung Perak baru dimulai setelah Raden Rahmad membuka tanah Ampel Denta. Barulah setelah itu pelabuhan Tanjung Perak menjadi pelabuhan baru bagi ulama dan pedagang Madura, China dan Arab yang kemudian membentuk komunitas campuran di daerah Ampel sampai sekarang.

Lalu di manakah lokasi Ujung Galuh sebenarnya? Berikut petikan Prasasti Kamalagyan tentang lokasi Ujung Galuh: ".... kapwa ta sukha manahikan maparahu samanhulu manalap bhanda ri hujun galuh ika" Artinya: bersukacitalah mereka yang berperahu ke arah hulu, mengambil dagangan di Hujung Galuh. Berdasarkan keterangan tersebut dapatkita ketahui bahwa lokasi Ujung Galuh berada ke arah hulu jika ditinjau dari letak prasasti (Desa Klagen Krian), bukan di hilir pantai utara atau Surabaya. Si penulis prasasti ini sedang berperahu dari arah timur Mojokerto hendak ke Ujung Galuh untuk membeli barang dagangan. Perjalanan sungai harus melewati Waringin Sapta (Wringin Pitu-Mojowarno Jombang) yang sungainya baru saja dibendung dan tertata baik. Jika dianggap bahwa lokasi Ujung Galuh ada di Surabaya justru tampak janggal dan kurang nyambung kronologisnya, dari Krian berperahu ke Waringin Sapta untuk apa nyasar dulu ke Tanjung Perak? Dari sini jelaslah bahwa letak Ujung Galuh memang bukan di Surabaya.

Sekarang mari kita melacak dimana lokasi hulu Ujung Galuh. Jika anda pergi ke Kota Jombang, tepatnya di Kecamatan Diwek, terdapat sebuah Desa bernama Watu Galuh yang berada di tepi sungai Brantas. Menurut Prasasti Anjuk Ladang (937M) disebutkan bahwa ibukota Mataram Kuno di Jawa timur adalah Watu Galuh. Lalu jika dari daerah itu kita mengikuti aliran sungai brantas ke arah utara ada daerah bernama Kecamatan Megaluh. Dekatnya lokasi Watu Galuh dan Megaluh di Kecamatan Jombang dapat diinterpretasikan bahwa dulunya keduanya berada dalam cakupan wilayah yang sama. Jika bicara Ujung Galuh pasti tidak lepas dari lokasi pelabuhan kuno yang ramai. Sekarang mari kita lacak toponimi desa-desa di sekitar Megaluh Jombang. Sebuah desa di kecamatan ini bernama Kedung Rejo (Kedung = sungai), dari sini jika kita telusuri lagi aliran sungai brantas ke barat (arah Kota Nganjuk) akan kita temukan nama-nama desa antara lain: Desa Bandar Kedung Mulyo, Desa Bandar Alim, dan Desa Kedung Suko. Perhatikan lagi toponimi “Bandar” (Bandar = Pelabuhan) dan “Kedung”. Lalu jika menuju ke arah hulu yaitu ke selatan (arah Kediri) kita juga akan menemukan Desa Bandar Lor, sebelah utara Kota Kediri dan jika ke barat lagi masuk ke Kota Kediri kita temukan Desa Kali Ombo (Sungai Besar) dan Desa Jongbiru (Jung Biru). Seluruh aliran sungai brantas dari hulu arah barat pada akhirnya bermuara di Ploso Jombang. Jika dilihat dari posisi Kota Krian, maka dapat dikatakan bahwa Jombang merupakan daerah ke arah hulu.

Jika merujuk pada pendapat De Casparis (1958) lokasi Ujung Gakuh tidak mungkin di Surabaya, karena letak Ujung Galuh menurut Prasasti Kemalagyan menuju arah hulu sungai dari Klagen. Casparis memperkirakan lokasi Ujung Galuh dekat dengan Mojokerto, yaitu antara Pelabuhan Tuban sampai Babat, Ngimbang dan Ploso Jombang yang merupakan daerah yang menjadi prioritas pembangunan di jaman Raja Airlangga. Dari pendapat tersebut De Casparis mempertimbangkan bahwa Ujung Galuh mungkin terdiri dari dua pelabuhan utama, yaitu Pelabuhan Tuban sebagai pelabuhan laut yang menghubungkan Jawa Timur dengan pulau-pulau lain dan pelabuhan sungai di sekitar Ploso Jombang yang menghubungkan daerah-daerah di Jawa Timur. Hanya saja yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah dulu pernah ada aliran sungai brantas yang bertemu dengan sungai Bengawan Solo dan bermuara ke Pelabuhan Tuban? Ataukah para pendatang dari luar Jawa yang masuk ke Pelabuhan Tuban harus menempuh jalur darat menuju ke selatan jika hendak memasuki sungai brantas di Ploso Jombang? Sebagaimana diketahui pada masa kuno jalur sungai brantas memang merupakan jalur transportasi utama.

Berdasarkan sumber-sumber tutur di daerah sepanjang sungai brantas dulunya adalah pelabuhan-pelabuhan sungai yang besar dan dapat dilalui kapal-kapal sejak jaman Airlangga bahkan Pu Sindok. Hal ini sulit dibayangkan karena sekarang ukuran sungai sudah sangat kecil. Tetapi dulu kapal yang besar sekalipun masih bisa melintas. Itulah sebabnya Kerajaan Pu Sindok ada di Tamwlang (Jombang). Itulah sebabnya Kerajaan Daha (Kediri) dapat maju dengan mobilitas tinggi dan demikian pula Kerajaan Majapahit di Trowulan memiliki armada laut yang tanpa tanding. Karena memang sehari-hari mereka bergerak dengan kapal-kapal di sungai yang besar. Jika Ujung Galuh dikatakan sebagai pelabuhan kuno yang ramai, maka logikanya di sana pun pasti berceceran artefak-artefak kuno. Sekarang mari kita melacak artefak-artefak kuno di sekitar daerah-daerah yang saya sebutkan di atas. Kecamatan Megaluh bersebelahan dengan Kecamatan Kudu - Jombang. Daerah ini yang merupakan gudang prasasti dari jaman Airlangga, setidaknya yang saya tahu adalah Prasasti Kudu, Prasasti Katemas, Prasasti Pucangan, dan Sendang Made. Belum lagi saya dengar banyak prasasti lain yang belum dipublikasikan.

Lalu bergerak lagi sedikit ke utara sekitar 30km kita akan masuk ke Kabupaten Lamongan, di sini juga gudangnya prasasti, antara lain Prasasti Pamwatan, Prasasti Sumbersari, Prasasti Patakan, Prasasti Terep, dll. Khususnya di daerah Kecamatan Ngimbang (perbatasan Jombang-Lamongan) setidaknya tercatat ada 7 buah prasasti kuno. Sedangkan jika dari Jombang bergerak ke barat menuju Nganjuk, di Desa Bandar Alim terdapat Prasasti Bandar Alim, lalu di Nganjuk ada Prasasti Anjuk Ladang, Prasasti Hering dan Prasasti Kujon Manis. Menurut cerita tutur, pada saat Kerajaan Sriwijaya mengutus ribuan pasukan Jambi menyerbu sisa-sisa pasukan Pu Sindok di Anjuk Ladang, mereka berlabuh di Bandar Alim dan bermarkas di desa yang sekarang bernama Desa Jambi. Hal ini didukung ceceran artefak batu bata merah kuno yang tersebar di halaman rumah-rumah penduduk Desa Jambi.

Lalu pada saat Pasukan Tar-Tar datang berlabuh di pelabuhan Tuban, kavaleri besar itu tidak mungkin mengangkut semua perbekalan melalui jalur darat menuju Kediri. Solusinya mereka harus menggunakan jalur sungai brantas di sebelah selatan dan berlabuh di pelabuhan-pelabuhan sungai yang dekat dengan Kediri. Jalur pelabuhan sungai yang sudah aktif pada masa itu adalah pelabuhan sungai di kawasan kota Jombang-Nganjuk-Kediri, yaitu: Bandar Kedung Mulyo, Bandar Alim, Jongbiru, Bandar Lor, dan Bandar Kidul. Pasukan Tar-Tar menyusuri aliran sungai brantas hingga mendarat di Jongbiru - Kediri. Dari situ pasukan Tar-Tar bersama-sama dengan pasukan Arya Wiraraja dan pasukan Raden Wijaya mengepung dan membantai pasukan Jayakatwang. Sisa-sisa tawanan Kerajaan Gelang-Gelang itu lalu dibawa keluar Kota Kediri. Di sanalah pasukan Tar-Tar berpesta, dan dalam kelengahan itu pasukan Raden Wijaya menggempur pasukan Tar-Tar habis-habisan selama 2 hari dan mendesaknya terus hingga sampai ke Ujung Galuh. Akan sulit membayangkan suatu pertempuran yang bergerak dari Kediri menuju Ujung Galuh jika lokasi Ujung Galuh adalah di ujung utara Surabaya, terlalu jauh dan tidak memungkinkan. Tetapi menjadi logis jika letak Ujung Galuh memang tidak terlalu jauh dari Kediri yaitu di wilayah sekitar Ploso-Jombang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun