Mohon tunggu...
Lintang Pualam
Lintang Pualam Mohon Tunggu... Guru - Puitis bukan hanya milik sang penyair

Lahir di Cilacap, kota indah dengan pantai yang membentang di sisi selatan pulau Jawa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Refleksi Diri, From Nothing to be Something

31 Desember 2020   16:15 Diperbarui: 31 Desember 2020   16:42 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari kompas.com

Sambil ku sibak rambutku perlahan, ku sentuh dadaku. Terasa detak jantung yang berirama sedang teratur, bagaimana dia bekerja dengan sendirinya tanpa ku suruh tanpa ku meminta. Ku bersyukur telah hidup sampai sekarang, walaupun hidupku monoton, terkadang hambar, namun Tuhan tak pernah protes atau dia protes dengan memberiku cobaan-cobaan? Mungkin, bisa jadi? Cuma akunya saja yang terkadang tak menyadari.

Ku tersenyum sendiri dan cenderung malu memikirkan betapa masa bodohnya aku ketika terlepas dari cobaan. Yaaah contohnya saja ketika aku sakit, ketika itu aku meraung-raung meminta kepada Tuhan tuk sembuhkan sakitku. Setelah sehat, bukannya sadar namun mengulang kesalahan yang sama. Maumu apa manusia?? 

Tuhan terlalu baik, hanya kita saja yang terkadang berburuk sangka. Terkadang ada pula yang memilih jalan akhir dengan jalan tidak semestinya. Sayang sekali.

Ya kita memanglah makhluk kecil, seumpana kita pergi ke pantai, kita merupakan serpihan debu. Yang melayang, terombang ambing dalam arus air. Namun jangan mudah menyerah, bermimpilah setinggi bintang dilangit. Dilangit bertabur jutaan bahkan milyaran bintang. Jika dilihat dari bumi tak ubahnya seperti pasir di pantai tadi. Banyak, berhamburan dan tak terbatas. 

Walaupun kita hanya setitik debu yang berjalan di muka bumi. Jadilah debu yang bersinar, yang dicari-cari banyak orang. Seumpama emas diantara tumpukan pasir. Didulang dan ditempa menjadi barang berharga. Seseorang tercipta bukan tanpa alasan, tanpa sebab. Setiap diri adalah spesial. Itu kata motivator, senyumku dalam hati sambil menyemangati diri sendiri.

Ku tatap lagi pantulan diriku di cermin , kini rambutku telah kering sempurna. Tersisir rapi berbelahan pinggir. Mukaku pun walau tanpa riasan terlihat segar dan merona. Ku tersenyum memerhatikan ciptaan Tuhan yang ada dalam ragaku.

Dan kubertanya, sudahkah aku berproses menjadi debu yang bersinar. Layaknya bintang terterang di langit malam? Ataukah aku hanya serpihan debu yang terbakar menjadi abu karena berhenti bermimpi?  Layaknya pasir yang menjadi alas kobaran api?

Pikirkan dan resapi, waktu kita semakin menipis untuk memperbaiki diri. Jangan sampai dipenghujung ajal nanti, kita sesali apa yang terjadi. Lakukan sekarang, jangan tunda lagi. Jika sudah terlaksana, jaga, jangan sampai semangat itu luntur bak cat tersiram air.

Ku mematut diri sekali lagi didepan cermin, ku langkahlan kaki membuka pintu kamar mandi. Kamar mandi adalah tempat terbaik untuk menyendiri dan merfleksikan diri selain kamar tidur karena kita merasa kita bergelut dengan dunia sendiri.

Mungkin tempat lain untuk merefleksikan diri adalah tempat ibadah, karena bagaimanapun diri kita adalah ciptaan-Nya dan sedang berhadapan dengan Tuhan pencipta alam. Ya semuanya ada porsinya masing-masing.

Daripada kita menunggu malam pergantian tahun hanya dengan membakar jagung, menyalakan kembang api, ayo kita bercermin. Bercermin bukan makna harfiahnya saja, namun bercermin sudahkah kita lebih baik dari hari kemarin? Ataukah kita masih sama seperti sebelum-sebelumnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun