Mohon tunggu...
Lintang Tirta
Lintang Tirta Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

I'll do my best for my life

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kemudahaan Pengajuan Pailit Menjadi "Mimpi Buruk" di Masa Pandemi

6 Mei 2021   23:00 Diperbarui: 6 Mei 2021   23:24 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pandemi Covid-19 menimbulkan banyak kerugian di berbagai sektor, dan membuat Indonesia berada di ambang resesi ekonomi dan tentunya kondisi ini mengancam banyak perusahaan. Banyak perusahaan yang tidak mampu memenuhi kewajiban hutang, sehingga peningkatan kasus kepailitan sulit untuk ditekan. Meski pemerintah sudah mengeluarkan peraturan seperti Insentif pajak, Restrukturisasi Kredit, namun hal tersebut sepertinya hanya akan menimbulkan efek sementara waktu selama Pandemi Covid-19 masih belum bisa dihentikan penyebarannya. Di Indonesia sendiri setidaknya ada 46 perusahaan raksasa yang gulung tikar di masa Pandemi Covid-19 ini.

Dalam penjelasan umum UU Kepailitan telah diatur tujuan dari kepailitan ini sendiri yaitu untuk menghindari perebutan harta debitor oleh para kreditor, mencegah kreditur separatis mengeksekusi harta jaminan secara sewenang-wenang, dan menghindari terjadinya kecurangan dari debitor maupun kreditor. Namun jika dilihat UU Kepailitan yang ada di Indonesia mengatur syarat pengajuan pailit yang begitu mudah dibandingkan dengan beberapa negara yang sudah lebih dulu mengatur tentang persyaratan pailit insolvency test . UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) mengatur syarat pengajuan pailit yang bisa dikatakan cukup mudah untuk diajukan, dengan minimal 2 kreditor dan 1 utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, lalu dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan tentang jangka waktu PKPU yang sangat singkat, jika kreditor yang mengajukan PKPU. 

Jika perusahaan sudah dinyatakan pailit maka pihak-pihak yang dirugikan dalam hal kepailitan bukan hanya debitur yang dirugikan namun juga para buruh, karyawan, dan juga kreditur. Contoh  yang dialami oleh konsumen PT Cowell Development Tbk, para konsumen menanyakan bagaimana properti yang telah mereka beli kepada perusahaan tersebut, kedudukan konsumen dalam kasus kepailitan tidak terlalu menguntungkan karena pembayaran harta pailit harus didahulukan pembayaran terhadap buruh, kreditor separatis dan kreditor preferen. Konsumen hanya akan mendapatkan pembagian sisa harta pailit. Nasib para buruh juga dipertaruhkan dalam perkara kepailitan ini, MK telah mengeluarkan Putusan No. 67/PUU-XI/2013 yang mendahulukan pembayaran upah buruh dibandingkan kreditor jika perusahaan mengalami kepailitan. Namun kelangsungan mata pencaharian mereka akan terancam karena kepailitan akan menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh, ditambah dengan masa Pandemi Covid-19 terjadinya PHK dalam julmlah yang besar maka akan jumlah pengangguran di Indonseia juga akan terus bertambah sedangkan lapangan pekerjaan semakin sedikit karena banyak perusahaan yang pailit dan gulung tikar.

Kepailitan menimbulkan dampak negatif bagi beberapa pihak dan hal ini menunjukan bahwa tujuan kepailitan sulit tercapai, dengan adanya beberapa dampak yang tidak mendapat perhatian dari UU, seperti dampak-dampak bagi konsumen dan buruh. Padahal dampak ini sangat perlu diperhatikan karena menyangkut kepentingan banyak orang.

Masa Pandemi Covid-19 ini jelas tergambarkan  bahwa adanya kerugian-kerugian yang sangat berdampak bukan hanya terhadap perusahaan namun juga pihak-pihak lain yang terdapat didalamnya. Peningkatan permohonan kepailitan di masa pandemi ini, seharusnya menjadi momentum bagi para pihak yang ikut andil dalam pembuatan Undang-Undang untuk melakukan revisi terhadap UU Kepailitan dan juga termasuk persyaratan pengajuan kepailitan. UU Kepailitan merupakan bagian dari program Legislasi Nasional 2020-2024. Salah satu yang menjadi program investasi di Indonesia yakni  ingin meningkatkan investasi di indonesia dan salah satu indikator pentingnya adalah kemudahan berusaha / ease of doing business (EoDB), jika regulasi yang disediakan begitu sulit untuk dijalankan maka akan banyak perusahaan yang mengundurkan diri untuk berinvestasi di Indonesia karena dengan mudahnya permohonan pengajuan pailit yang akan diajukan oleh kreditor dan juga waktu PKPU yang begitu singkat, jika terjadi hal-hal yang tidak terduga yang berdampak sangat besar terhadap Investasi dan perusahaan yang ada di Indonesia seperti Pandemi Covid-19 ini terjadi maka Indonesia mempunyai regulasi-regulasi yang membuat para investor dan perusahaan sedikit bernafas untuk memikirkan jalan keluar agar terhindar dari kepailitan karena akan banyak kepentingan stakeholder yang harus diperhatikan, dan sangat perlu diperhatikan apakah jika terjadi pailit karena akan menimbulkan dampak yang luas bagi para konsumen atau menyebabkan terjadinya dislokasi ekonomi yang buruk. Hukum Kepailitan juga harus memperhatikan kesehatan keuangan debitur.

Untuk saat ini karena UU Kepailitan belum ada perevisian maka yang dapat dilakukan adalah pihak yang berkepentingan salah satunya Bursa Efek Indonesia, juga perlu menyikapi dengan bijak permohonan kepailitan agar tidak menambah kerugian bagi debitor. DPR RI yang dalam hal ini memiliki fungsi pengawasan wajib memperhatikan proses kepailitan terutama jika melibatkan banyak pihak seperti konsumen dan buruk untuk menghindari reaksi-reaksi yang tidak diinginkan. Dengan adanya fungsi legislasi DPR RI seharusnya menjadi dorongan agar segera dilakukan revisi terhadap UU Kepailitan dengan memperketat pengajuan pailit dan memperbaiki tujuan kepailitan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun