Mohon tunggu...
Karina Lin
Karina Lin Mohon Tunggu... profesional -

Seorang manusia biasa yang suka menulis. Mencintai dan hidup untuk menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antiklimaks BRT Kita

23 Desember 2012   13:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:09 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Antiklimaks BRT Kita

BRT ! Lagi-lagi moda angkutan umum di Kota Tapis Berseri ini menjadi buah bibir. Jika dulu-dulu karena demo dari sejumlah pihak yang tak berkenan dengan keberadaannya, kali ini BRT diberitakan lantaran pemogokan yang dilakukan karyawan BRT-nya sendiri. Mogok Selasa (18/12) ini masih kelanjutan pemogokan sebelumnya yang dilakukan pada akhir bulan 27 November lalu.

Karyawan mogok karena gaji. Mengutip Tajuk Lampung Post, Kamis (29/11) disebutkan telah dua bulan (September-Oktober)karyawan BRT tidak menerima gaji” (namun dari bisik-bisik, bukan dua bulan melainkan tiga bulan belum dibayar gaji).

Persoalan lantas selesai, setelah (beberapa hari kemudian) pihak konsorsium BRT membayarkan gaji para karyawannya. Namun, rupa-rupanya gaji yang dibayarkan tersebut belumlah seluruhnya. Malahan kabar paling baru menyebutkan bila gaji mereka bulan November juga belum dibayar.

Terlalu Menggampangkan

Pihak-pihak yang berkepentingan (selaku pembuat kebijakan dan pengeksekusi kebijakan) punya perspektif dan mentalitas yang terlalu menggampangkan ketika memprogramkan BRT. Setidaknya ada empat pihak, yaitu pihak Konsorsium BRT, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung), Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandar Lampung dan DPRD Kota Bandar Lampung.

Mentalitas terlalu menggampangkan dari pihak Konsorsium tampak dalam tiga hal mendasar BRT. Pertama, penetapan rute atau trayek BRT. Semenjak resmi dioperasikan, BRT terus menambah rute (koridor) dan sampai saat ini, BRT telah memiliki 10 koridor. Banyak rute, kok tekor ?

Dalam Diskusi Publik Pelayanan Transportasi Umum Perkotaan Melalui Pengembangan BRT di Kota Bandar Lampung, Februari 2012, terungkap jalur koridor yang ada tidak didasarkan pada hasil kajian akademis, tetapi lebih kepada kekuasaan bahwa di jalur tersebut telah ada moda angkutan umum sebelumnya dan pernah memiliki demand besar.

Kedua, ukuran kendaraan yang digunakan untuk BRT terlalu kecil. BRT yang sekarang ini digunakan tak ubahnya dengan DAMRI, hanya berbeda modelnya saja (kursi berjajar memanjang dari depan ke belakang dan memiliki bukaan pintu samping).

Ketiga, jalur kuning yang sedang digodok, mengambil sisi kiri badan jalan. Pemikirannya gampang. Karena kendaraan kan pasti minggirnya di sebelah kiri dan selama ini, baik DAMRI atau pun angkot pun begitu.

Pihak Pemkot Bandar Lampung yang entah dikarenakan percaya atau tak ingin repot pun, menyetujui saja sistem dan praktek BRT tersebut. Sedangkan pihak Dishub Kota Bandar Lampung yang notabene harusnya paham keadaan lalu lintas dan transportasi kota-nya pun bersikap sami mawon dengan Pemkot Bandar Lampung.

Solusi Sepenuh Hati

Karena program BRT sudah terbilang kepalang tanggung. Satu-satunya langkah yang bisa ditempuh ialah melakukan koreksi lalu mengupayakan solusi. Beberapa solusi berikut bisa dipertimbangkan. Pertama,sementara BRT terus berjalan, pihak Konsorsium BRT bersama Pemkot dan Dishub Bandar Lampung harus melakukan survei lagi mengenai koridor-koridornya.

Jika masih belum bisa, maka solusi kedua, yaitu terpaksa pihak konsorsium harus melego BRT yang terlanjur dibeli (itu pun kalau bisa) atau kita bisa mencontoh Kota Solo yang memfungsikan bus dalam kota sebagai kendaraan wisata juga.

Ketiga, mengenai pembuatan jalur khusus itu harus di sisi kanan, bukan di sisi kiri ! Saya kira dalam penetapan jalur, belum terlambat untuk diubah. Ingat kejadian pada pertengahan November lalu, dimana seorang sopir BRT jurusan Rajabasa-Sukaraja melindas seorang pesepeda motor hngga tewas. Seandainya jalur BRT berada di sisi kanan, pasti insiden kecelakaan itu bisa dihindari. Serta harus pula terintegrasi dengan halte dan jembatan penyeberangan. Tanpa halte dan jembatan penyeberangan, jangan harap program BRT akan berhasil maksimal.

Keempat, sosialisasi kepada seluruh masyarakat Kota Bandar Lampung mengenai sistem yang dianut BRT. Harus naik dimana, turun dimana, berapa harga tiketnya dan gimana cara kerjanya. Sosialisasi ini harus dilakukan secara berkesinambungan. Tak cuma oleh para petugas BRT, namun juga melalui informasi yang bisa ditempelkan di halte-halte BRT.

Kelima, petugas BRT harus diseleksi dengan benar-benar memiliki integritas terhadap profesinya. Mereka harus paham rute-rute dari koridor yang merupakan area kerjanya. Sepanjang rute itu ada landmark apa saja, nama jalannya apa saja dan halte/ feeder-nya ada di titik mana saja. Benahi sistem perekrutan, seleksi kembali dari petugas yang telah ada. Pilih petugas yang benar-benar punya dedikasi terhadap pekerjaannya.

Keenam, sistem pengutipan tiket harus diubah. Bukan kondektur yang mengutip di dalam bus. Melainkan penumpang membeli tiket di loket yang ada di halte BRT. Sesungguhnya, tanpa pemasangan alat sensor pun pembelian tiket memang harus dilakukan di loket. Trans-Jakarta memberlakukan cara seperti itu. Malah aneh kok BRT mengutip tiket di dalam bus.

Ketujuh, idealnya BRT berukuran lebih besar sedikit lagi dari ukuran yang sekarang atau dijadikan bus gandeng sehingga lebih besar daya tampungnya dan lebih luas ruangnya serta lebih menghemat bahan bakar.

Kedelapan, solusi bahan bakar pun, harusnya pihak-pihak yang bersangkutan legawa dengan mengupayakan bahan bakar yang lebih murah tetapi tetap berkualitas.

Akan tetapi, bila tetap ngotot maka ksembilan, BRT harus menambah jam operasionalnya hingga malam. Bukan mulai pukul 06.00-18.00, melainkan menjadi pukul 06.00-22.00.

Walikota Herman HN menyatakan menolak menyubsidi BRT dengan landasan di luar kesepakatan MoU. Penolakan beliau untuk mensubsidi BRT ini sejujurnya merupakan “langkah mundur” dan kalau tidak dibilang sebagai arogansi. Subsidi, dikatakan oleh Christiono dari BSTP Kementerian Perhubungan (yang turut menjadi narasumber dalam diskusi pengembangan BRT Bandar Lampung, Februari 2012) itu mutlak diperlukan.

BRT tanpa subsidi, tinggal menghitung hari kematiannya, karena pasti bangkrut. Pengalaman di banyak kota di dunia, BRT memerlukan subsidi dari pemerintah karena itu merupakan bagian dari pelayanan publik. Sepertinya BRT kita sedang memasuki fase itu (kematian). (Dimuat dalam opini Lampung Post edisi Kamis, 20 Desember 2012).

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun