Mohon tunggu...
Tatik Nunang
Tatik Nunang Mohon Tunggu... -

suka memperhatikan sekitar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kearifan Lokal Bernama Panggungan

20 Maret 2014   03:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:43 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dari sebuah sumber (maaf lupa asal sumbernya) saya dapatkan maksud dari istilah kearifan lokal. Sorry saya kutip. Kearifan lokal selama ini dimaknai sebagai sebuah proses kompromi budaya yang dilakukan ketika budaya lokal bersentuhan dengan budaya-budaya lain dari luar. Dalam proses tawar-menawar itu kearifan lokal mendorong terjadinya sebuah perubahan sebagai sebuah konsekuensi logis kenyataan bahwa suatu bangsa bukanlah merupakan satu-satunya komunitas di dunia ini.

Yang mau saya bahas adalah suatu budaya yang sudah dianut dan diterima oleh masyarakat sekitar Gresik. Tadinya dari daerah pinggiran dan dianut oleh warga asli. Kemudian meluas sampai ke kota dan dianut oleh siapapun yang bertempat tinggal di sini. ‘Kearifan’ itu bernama panggungan.

Dalam budaya asli nenek kita dulu, saat mengunjungi orang yang punya hajat, bentuk perhatian diwujudkan dengan membantu memberikan bahan hajatan, bisa berupa beras, pisang, tenaga dll. Atau yang lebih praktis lagi adalah membantu dalam bentuk uang. Sedangkan kado adalah serapan dari budaya barat. Saat ini, bantuan dalam bentuk uang sudah kembali membudaya. Dan Untuk ungkapan terimakasih yang punya hajat akan membalas dengan memberikan masakan atau makanan siap makan. Bukan dengan benda.

kembali ke pembahasan tentang panggungan. Panggungan itu adalah sebuah pemberian sebagai ungkapan terimakasih dari seseorang karena perhatian orang lain. Berbentuk benda. Benda apa saja sesuai momennya. Momennya adalah mengunjungi orang melahirkan, teman yang menyunatkan anaknya, pindah rumah, berangkat atau pulang dari ibadah haji dll. Biasanya tuan rumah akan memberikan tanda terimakasih (atas perhatian pengunjung) dengan benda.

Nilai benda ini (maksudnya : harga), bisa berapa saja. Tapi pada umumnya, nilainya sesuai dengan strata sosial orang yang punya hajat. Jadi ada, yang bernilai 10 ribuan, 50 rb, dsb. Yang saya dapat selama ini, kalau diperkirakan dari nilainya, antara 3 rb – 500 rb (yang saya bicarakan di sini adalah orang dari kalangan biasa saja. Bukan yang sekelas sekretaris MA).

Bendanya apa saja. Bisa berbentuk makanan atau peralatan rumah tangga yang kecil-kecil, pakaian, atau apapun barang di toko yang mungil, unik dan berharga ekonomis. Ini kalau tuan rumah orang ‘biasa’.

Jika orang ‘berpunya’ maka panggungan akan lebih tampak ‘berharga’. Beberapa kali saya dapat panggungan yang kalau dinilai dengan uang, bernilai sekitar rp. 500 ribu. Bayangkan ! itu baru pemberian untuk satu orang. Padahal yang diberikan bisa beratus-ratus orang.

Tapi ada juga, pemilik hajat yang mengelompokkan nilai panggungan sesuai dengan tempatnya di kelompok masyarakat. Jika orang yang datang tampak sederhana akan ‘mendapat’ panggungan yang ‘sederhana’ ( murah) juga. Tapi yang kelihatan ‘borju’ akan mendapat yang ‘oke’. Jadi, si empunya hajat, punya beberapa kategori panggungan.

Dasar filosofinya bagus. Menghargai perhatian orang pada kita. Hanya sekarang ini, mungkin filosofi itu sudah bergeser dengan yang namanya gengsi dan keharusan. Sebetulnya panggungan adalah ‘sunnah’, tapi belakangan ini sudah menjadi ‘wajib’.

Paling tidak, ada anggapan bahwa ‘haram’ hukumnya jika tamu kita pulang dengan tangan kosong. Kalau sekarang belum siap atau persiapan kita kurang maka di lain hari panggungan harus diberikan ke rumah tamu yang belum kebagian tadi. Kalau tidak punya uang, hutang dulu. Masya Allah !

Punya hajat, akan merasa dipusingkan dengan pemilihan jenis panggungan yang tepat, tidak memalukan tapi ekonomis. Bagaimana tidak, dalam satu momen tuan rumah kadangkala harus menyiapkan sampai 500 buah panggungan atau lebih, tergantung dari populer tidaknya orang itu. Padahal jika tidak disediakan pun, sebetulnya tidak apa-apa. Sayangnya, itu kalau di kelompok masyarakat lain. Bukan di sini.

Ada juga yang menyembunyikan perhelatan acara, bahkan mengurungkan niat membuat acara karenanya. Misalnya, berangkat haji dari daerah lain atau menunda keberangkatan haji, karena kurang dana untuk panggungan. Tragis ! sesuatu yang wajib menjadi nomor dua setelah sunnah.

Sudah banyak yang merasa, perlu kembali ke filosofi awal ‘apa arti panggungan yang sebenarnya’. Atau bahkan tidak sedikit juga yang ingin menghentikannya. Tapi sayangnya belum ada yang punya nyali untuk memulai. Atau jika ada yang punya nyali untuk melaksanakan, akan digagalkan keluarga lain yang ciut nyalinya.

Sesuatu yang menyenangkan, jika berubah menjadi keharusan, maka akan menjadi tidak menyenangkan lagi.

Jadi apakah masih bisa dikatakan ‘arif’.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun