Mohon tunggu...
Linggar Kharisma
Linggar Kharisma Mohon Tunggu... Politisi - Political Scientist In Digital Creative Industry

Political Scientist

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Film Jihad Selfie: Peran Keluarga Tangkal Paham Radikal

25 Oktober 2016   16:09 Diperbarui: 25 Oktober 2016   16:14 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Film Jihad Selfie / (sumber: www.jihadselfie.com)

Seminggu yang lalu, saya memenuhi undangan salah seorang kawan untuk menghadiri acara nonton bareng dan dikusi film ‘Jihad Selfie’ (JS), yang diselenggarakan salah satu NGO di kawasan Kebayoran Baru. Beberapa waktu sebelumnya memang, saya sempat kehabisan tiket untuk menyaksikan pemutaran film ini di Taman Ismail Marzuki (TIM), yang ternyata dibanjiri ratusan orang penonton. Sehingga ketika kawan saya mengajak untuk datang ke acara kali ini, tanpa ba-bi-bu, saya langsung meng-iyakan.

Film dokumenter karya Noor Huda Ismail ini, bercerita tentang pola perekrutan organisasi Islam radikal, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Indonesia, yang dijalankan dengan metode online melalui saluran media sosial dan kekuatan jejaring internet.

Tampil dalam film tersebut, seorang pemuda cerdas nan taat asal Aceh, bernama Akbar (17) yang mengalami kegalauan keimanan, pasca melanjutkan studi tingkat SMA di Turki, hanya karena melihat profile picture akun Facebook kawannya bernama Yazid, menenteng senjata api AK-47. Melalui komunikasi yang intens lewat laman Facebook Yazid jualah, kemudian Akbar terpanggil untuk pergi jihad menuju Suriah, sebelum akhirnya bertemu dan dicegah oleh Noor Huda Ismail.

Proses pengkaderan bibit-bibit ekstrimis, lazimnya dilakukan dengan metode konvensional berbentuk pengajian-pengajian, yang menyebarkan virus fundamentalisme agama. Namun pola perekrutan calon anggota baru organisasi radikal dewasa ini, mengalami pergeseran nilai dengan menjalankan cara-cara yang lebih maju, melalui pemanfaatan penggunaan teknologi.

Mekanisme perekrutan calon ekstrimis agama hari ini, dijajaki melalui penggunaan yang maksimal terhadap jejaring virtual sosial media. Munculnya pattern baru (melalui jejaring internet dan sosial media) yang dijalankan organisasi radikal fundamentalis seperti ISIS, dilakukan dengan kampanye yang cukup masif.

Melalui data riset yang dilakukan University of Miami dari tahun 2015-2016, kita akan memahami bagaimana fenomena ini berjalan dengan masif dan sistematis. Dalam studi yang dilakukan melalui pendekatan dua bahasa (Inggris & Arab), menurut data tersebut, ada 106.000 aktivis pro ISIS yang memiliki akun aktif sosial media, dan tergabung ke dalam 196 grup aktif, yang getol menyebarkan doktrin kekerasan berkredo agama.

Demi menyebarnya pemahaman tersebut, masih menurut data yang sama, dalam tempo satu hari, ada sekitar 90.000 konten di internet yang mendukung pergerakan ISIS. Melalui jejaring twitter, misalnya, ada 120.000 tweet dan re-tweet mengenai ISIS per-hari.

Buah dari kampanye ISIS yang jamak di dunia virtual ini, memang tak sia-sia. Menurut University of Miami pula, sejak tahun 2015 hingga hari ini, ada sekitar 3.400 (566 nya wanita) orang Barat (western-ers) berhasil direkrut oleh ISIS, yang rata-rata masih berusia remaja.

Hal ini mengindikasikan bahwa kekuatan sosial media (yang murah, mudah, dan cepat akses) sebagai wadah menyebarkan gagasan, hari ini, jauh lebih efektif dibanding pola konvensional berupa paparan orasi kekerasan berbalut doktrin keagamaan di ruang-ruang publik, seperti rumah ibadah.

Persoalan ini menjadi cukup penting untuk dikaji dan dicari solusinya bersama. Karena berdasarkan data PEW Research Center tahun 2016, ada sekitar 4% (dari komposisi penduduk) simpatisan ISIS di Indonesia, yang hingga kini terus bergerilya menanamkan paham fundamentalisme agama.

Sejatinya film ini tak hanya bercerita mengenai kompleksitas persoalan terorisme berkedok agama di Indonesia. Namun juga berusaha melakukan elaborasi yang cukup komprehensif terhadap peran serta keluarga, sebagai sarana sosialisasi primer, pembentukan karakter seorang anak yang beranjak remaja.

Dari contoh kasus Akbar (dan beberapa kawan lainnya dalam film JS) tersebut, kita belajar bahwa di era kemutakhiran teknologi yang tak terbendung, sarana pembelajaran keagamaan menjadi sajian praktis nan instan, yang bisa diakses siapa dan kapan saja. Oleh karena itu, tanpa pengawalan dan bimbingan orang tua, serta keluarga untuk menanamkan pemahaman teologi yang baik untuk seorang anak, potensi timbulnya paham fanatisme keagamaan yang cenderung radikal akan terus mengintai.

Namun terlepas dari berbagai persoalan itu semua, menurut saya, sebagai seorang awam dalam hal film, karya dokumenter ini ditopang dengan kualitas gambar, efek grafis, dan kejernihan suara yang cukup baik. Sehingga pesan yang hendak disasar oleh pembuat film pun dapat diterima dengan sempurna oleh para penonton.

Jadi, bila anda punya sedikit kelonggaran waktu dan kesempatan untuk menonton, saya rekomendasikan film 40 menit ini untuk disaksikan bersama sanak famili.

Selamat menyaksikan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun