Mohon tunggu...
Akbar Linggaprana
Akbar Linggaprana Mohon Tunggu... Seniman - Melukis, Menulis dan Mengajar merupakan aktifitas yang mengasyikkan

Lahir di Yogyakarta 16 Oktober 1956. Tahun 1981 memenuhi panggilan Perwira Wajib Militer ABRI dan aktif sebagai prajurit TNI Angkatan Udara. Setelah mengikuti berbagai macam jenjang pendidikan, latihan dan penugasan, pada tahun 2014 mendapat promosi jabatan bintang. Jabatan terakhir militer yang diemban adalah Perwira Tinggi Staf Ahli Kepala Staf TNI Angkatan Udara bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan pada akhir penugasannya diperbantukan kepada Presiden RI ke-6 sebagai Asisten Staf Khusus Presiden Republik Indonesia Bidang Publikasi dan Dokumentasi. Setelah pensiun dari TNI Angkatan Udara pada tahun 2015, kembali aktif menekuni profesinya sebagai pelukis, penulis dan pengajar dan aktif mengikuti pameran lukisan di berbagai tempat, baik di dalam negeri maupun luar negeri. https:www://facebook.com/Akbar Linggaprana https://www.instagram.com/akbarlinggaprana_arts https://www.youube.com/Lingga Prana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidupku untuk Negara dan Bangsa

5 Juni 2021   11:05 Diperbarui: 5 Juni 2021   20:22 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seri 3 : Catatan Harian Sarwo Edhie Wibowo

Dari jabatan Komandan RPKAD kini Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yang merupakan kekuatan pemukul riil G.30 S/PKI, serta simbol bagi lahirnya tokoh hero politik, Sarwo Edhie kemudian dipindahkan sebagai Pangdam II Bukit Barisan.

Dalam jargon politik waktu itu, dipindahkannya Sarwo Edhie ke Medan adalah untuk menguji ketabahan, integritas, dan dedikasinya dapat bertahan menghadapi 'percukongan gaya Medan' (Sumatera Utara) yang dikenal ampuh.

Sebelum menginjakkan kakinya di Medan, Sarwo Edhie terkenal dengan ucapannya, "Saya datang ke Medan dengan dua kopor dan akan keluar dari sana dengan dua kopor yang sama". Namun sewaktu menjadi Pangdam II Bukit Barisan Sumatera Utara, Sarwo Edhie terkena 'kartu kuning', tidak lama setelah ia membekukan PNI di wilayah Kodam II Bukit Barisan.

Selesai bertugas di Medan, Sarwo Edhie dipindahkan sebagai Pangdam XVII/Cendrawasih di ujung wilayah Indonesia : Irian Jaya, dengan sebuah misi strategis, untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di provinsi yang masih gawat itu.

Sewaktu menjabat Pangdam XVII/Cendrawasih, sejak 25 Juni 1968 sampai tahun 1970 itulah, dengan pangkat Brigjen TNI, Sarwo Edhie Wibowo mengubah kebijakan operasi tempur menjadi pendekatan persuasif di Irian Jaya.

Kala itu, berbagai laporan menyebutkan, antara tahun 1964-1968, begitu banyak penduduk tersungkur dihantam timah panas di daerah itu akibat sejumlah penduduk setempat menuntut kemerdekaan. Keadaan memilukan itu, tampaknya menjadi perhatian serius Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo. Ia segera mengambil langkah tegas untuk memulihkan nama dan wibawa TNI yang sudah tercoreng di mata penduduk Irian Jaya.

Di bawah sandi Operasi Wibawa, ia menindak tegas aparat yang sewenang-wenang terhadap rakyat. Di lain pihak ia menghimbau pemberontak keluar dari hutan dan kembali ke desa. Ia menjamin mereka yang mau kembali kepangkuan ibu pertiwi tidak akan diproses secara hukum.

Dari Irian Jaya, Sarwo Edhie kembali ke Pulau Jawa menjadi Gubernur Akabri. Inilah puncak karier militernya. Selama menjabat Gubernur Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRl), ia selalu mengedepankan nilai-nilai kesederhanaan. Kesederhanaan Sarwo Edhie bisa dilihat saat menjabat Gubernur Akabri Udarat selalu membawa makanan rantangan sendiri dari rumah.

Sarwo Edhie Wibowo dalam sebuah acara saat menjabat sebagai  Gubernur Akabri Udarat, 1970 - 1974 (Dokpri)
Sarwo Edhie Wibowo dalam sebuah acara saat menjabat sebagai  Gubernur Akabri Udarat, 1970 - 1974 (Dokpri)
Di samping membina anjangsana antara taruna dan mahasiswa, Sarwo Edhie meneruskan tradisi hubungan baik dengan generasi muda sipil kepada anak didiknya di dunia militer. Hal demikian tidak aneh, karena Sarwo Edhie merupakan figur yang dikenal dekat dengan mahasiswa sejak tahun 1965, untuk ikut menggulirkan Tritura.

Setelah itu, Sarwo Edhie memasuki karier non-militer, sebagai Duta Besar di Korea Selatan. Sarwo Edhie memilih Seoul, karena masih ingin mengamati dari dekat perkembangan politik di Tanah Air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun