Mohon tunggu...
Linda Tri Astuti
Linda Tri Astuti Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, NIM 24107030107

Seorang mahasiswa aktif di Yogyakarta yang suka menulis hal-hal terkait kehidupan sosial di yogyakarta dengan berbagai permasalahan yang ada, serta sesuatu yang menarik seperti trend saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cancel Culture Bukan Jaring Keadilan, Melainkan Guillotine Kebebasan Berekspresi

16 Februari 2025   23:02 Diperbarui: 16 Februari 2025   23:02 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Linda Tri Astuti

Mari kita berhenti berputar-putar. Sudah saatnya kita mengakui bahwa cancel culture bukan sebagai alat revolusioner untuk menegakkan keadilan, melainkan sebagai guillotine yang siap memenggal kebebasan berekspresi. Ia adalah momok digital yang lebih berbahaya daripada kejahatan yang katanya ingin dilawan.

Argumen yang menyebutkan bahwa cancel culture adalah cara efektif untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dan tokoh publik? Itu adalah pembenaran semata. Faktanya, ini adalah bentuk persekusi publik yang brutal dan tidak proporsional. Memang benar, ada tokoh-tokoh yang pantas mendapatkan kritikan dan hukuman atas tindakan mereka yang salah. Namun, pertanyaannya adalah, apakah "hukuman" yang diberikan oleh cancel culture benar-benar sebanding dengan pelanggaran yang dilakukan? Sering kali, jawabannya adalah tidak. Seorang individu bisa kehilangan pekerjaan, reputasi, bahkan seluruh kehidupannya hanya karena satu kesalahan di masa lalu atau komentar yang kurang bijak. Di mana keadilan dalam hal ini?

Para pendukung cancel culture sering mengklaim bahwa mereka memberikan suara kepada kelompok-kelompok yang terpinggirkan, yang selama ini tidak didengar. Namun kenyataannya, cancel culture sering kali justru membungkam suara-suara tersebut. Ini menciptakan iklim ketakutan di mana orang merasa takut untuk mengungkapkan pendapat mereka secara terbuka, bahkan jika pendapat itu benar atau penting, karena takut menjadi sasaran amarah massa. Akibatnya, diskusi yang jujur dan terbuka menjadi mustahil, dan pemikiran kritis mati lemas di bawah tekanan konformitas. Ketakutan ini menghancurkan kebebasan berpikir, dan yang lebih buruk, ini membuat kita jauh dari kemajuan dalam memahami perbedaan pendapat.

Mereka mengatakan bahwa cancel culture mengirimkan pesan yang jelas kepada masyarakat tentang perilaku yang tidak dapat diterima. Tetapi, apakah benar pesan itu yang sebenarnya dikirimkan? Pesan apa yang sebenarnya disampaikan kepada masyarakat? Pesan bahwa tidak ada ruang untuk kesalahan, tidak ada kesempatan untuk belajar dan bertumbuh, dan yang lebih merusak, tidak ada ampunan. Ini adalah pesan yang menghancurkan jiwa, yang membuat orang merasa terkutuk selamanya karena kesalahan yang mungkin telah mereka perbuat bertahun-tahun lalu. Apa yang terjadi dengan konsep perubahan, pertobatan, dan kesempatan kedua? Semua itu hilang dalam arus besar penghakiman sosial ini.

Dan mari kita bicara tentang standar ganda dalam praktik cancel culture. Seringkali, mereka yang terlibat dalam cancel culture sangat selektif dalam menentukan siapa yang pantas "dibatalkan". Mereka memberikan toleransi kepada teman-teman mereka dan menghukum musuh-musuh mereka. Ini bukan keadilan, ini adalah politik balas dendam. Proses pembatalan ini menjadi semakin tidak adil ketika standar yang diterapkan tidak konsisten. Tindakan yang sama bisa dilihat dengan cara yang berbeda, tergantung pada siapa yang melakukannya dan siapa yang menjadi korban.

Mungkin ada yang berpendapat bahwa cancel culture diperlukan untuk melawan ujaran kebencian dan diskriminasi. Namun, kita harus bertanya kepada diri kita sendiri: apakah kita benar-benar dapat melawan kejahatan dengan kejahatan? Apakah kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih baik dengan membungkam orang lain? Jawabannya jelas: tidak. Menyerang kebebasan berbicara tidak akan mengatasi masalah-masalah sosial yang mendalam. Solusinya bukanlah melalui sensor atau hukuman, tetapi melalui pendidikan, dialog, dan pemahaman yang lebih baik tentang satu sama lain.

Kita perlu menciptakan ruang di mana orang dapat berdebat tentang ide-ide yang sulit tanpa takut akan dicap dan dikucilkan. Di dunia yang semakin terpolarisasi ini, kita harus memberi kesempatan kepada orang untuk belajar dari kesalahan mereka dan memberikan ruang untuk permintaan maaf yang tulus. Kita juga harus melindungi kebebasan berekspresi, bahkan ketika ekspresi tersebut menyinggung atau tidak populer. Karena tanpa kebebasan berbicara, kita tidak bisa memiliki keadilan yang sejati.

Cancel culture bukanlah jalan menuju keadilan; ia adalah jalan menuju tirani. Ia adalah senjata yang digunakan oleh mereka yang ingin membungkam lawan mereka dan memaksakan pandangan dunia mereka sendiri kepada orang lain. Sudah saatnya kita menolak cancel culture dan memperjuangkan kebebasan berekspresi, karena tanpa kebebasan, tidak ada keadilan yang sejati.

Mungkin terdengar klise, tetapi saya akan mengatakannya juga: "Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tetapi saya akan membela sampai mati hak Anda untuk mengatakannya." Karena itulah fondasi masyarakat bebas yang sesungguhnya. Jika kita menghancurkan kebebasan berbicara, kita menghancurkan dasar dari setiap bentuk keadilan.

Sudah saatnya kita berani mengambil langkah untuk melawan guillotine sosial ini. Kita harus percaya bahwa dialog yang jujur dan kesempatan kedua adalah kunci untuk menciptakan dunia yang lebih baik, bukan ketakutan yang ditanamkan oleh cancel culture. Sebuah masyarakat yang bebas adalah masyarakat yang mampu menerima perbedaan, memperbaiki kesalahan, dan tetap menjunjung tinggi kebebasan berbicara tanpa rasa takut dihukum oleh massa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun