Mohon tunggu...
Linda Puspita
Linda Puspita Mohon Tunggu... Buruh - Pekerja Migran

Be yourself

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu, Cerita Ibuku

18 November 2019   11:31 Diperbarui: 18 November 2019   11:30 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: dokumen pribadi

"Siapa ayahnya?"

Entah sudah berapa kali kata itu muncul di kepala. Cuma dua kata, tapi rasanya seperti hantu atau mimpi buruk yang sangat mengerikan. Ingin sekali lepas dari bayang-bayang itu, tapi itu tidak mungkin. Nasi sudah menjadi bubur.

Tiap hari Marni sibuk membolak-balik lembar kalender di meja kamarnya, seperti saat ini. Matanya tidak mau beralih dari tanda silang merah, yang penuh di tiga lembar lalu. Rasa di hatinya bergemuruh. Keringat dingin tiba-tiba penuh di wajah dan tangannya. "Bagaimana kalau dia tahu? Dia pasti akan marah besar," gumamnya. Batinnya diamuk gelisah.

Dia lempar kalender itu, jauh mengenai koper hitam besar di pojok kamar. Dadanya sesak, air mata jatuh dari ujung kelompak matanya. Tiba-tiba pintu kamar di gedor kuat. Seorang wanita berteriak memanggil namanya di luar sana.

"Kenapa sih, teriak-teriak, Mbak?" seru wanita hitam manis itu setelah membuka pintu. Suaranya masih terisak. Sisa air mata masih membekas di pipi.

"Tuh, taksinya udah datang. Lagian ngapain sih, nangis terus. Percuma tahu enggak." Mira membuang muka, meninggalkan kamar Marni.

Sebenarnya mereka saudara sekaligus sahabat, tapi itu dulu. Sebelum Marni memutuskan untuk kabur dari rumah majikannya. Miralah yang mencarikan tempat kos, bahkan kerjaan baru untuk dia. Namun, kebaikan tak selamanya berbuah manis. Marni mencoreng kepercayaan sahabatnya. Dia hamil dan tidak tahu di mana lelaki bejat itu berada sekarang. Menyembunyikannya sebagai TKI kaburan sudah penuh resiko. Dia tambah lagi dosa yang menyakiti hati adik Mira, suami Marni.

Selang beberapa menit, Marni keluar dengan koper dan tas digendongannya. Wajahnya terus menunduk. Percecokan semalam sudah cukup membuatnya malu dan bersalah. "Mbak maafin saya, saya pamit," ujar Marni mengulurkan tangan kanannya.

Namun, di luar dugaan, Mira justru menepis tangan Marni, "Enggak usah sok baik. Kamu mending mikirin, gimana supaya adik saya mau berbaik hati sama kamu. Tapi saya enggak yakin dia akan maafin kamu." Nada benci sangat terasa di suara Mira.

Sementara mulut Marni terkunci. Tak ada kata yang cocok untuk membela diri. Kata-kata Mira adalah tamparan keras yang buat dia sadar, dirinya tidak pantas untuk dihargai. Akhirnya dia berlalu menghampiri taksi yang sudah menunggu lama dan mereka pun melesat menuju bandara.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam dari  Bandara Internasional Taoyuan, Taiwan, Marni tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta, kemudian transit ke Bandara Raden Intan selama setengah jam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun