"Kita coba lagi, Sayang." Begitulah yang selalu dikatakan Dika.
Hingga suatu ketika Kirana berkata, "Kamu boleh menikah dengan wanita lain, Mas. Aku rela."
Namun Dika menolak. Ia merengkuh lalu mengatakan jika selamanya akan tetap bersama Kirana, apapun yang terjadi.
Setiap kali keguguran Kirana hanya dapat menangis, merenung di kamar calon bayi, mengurung diri berhari-hari. Jika sudah bangkit, ia akan mengatakan pada Dika dengan mantap dan penuh semangat.
"Aku ingin hamil lagi," tuturnya disertai senyuman.
Namun kali ini Kirana seolah kehilangan harapan. Perempuan itu sudah lelah untuk tegar.
"Sayang, kita coba lagi. Kita masih memiliki kesempatan. Tuhan pasti kasih." Dika terus menyemangati. Kirana tersenyum simpul, lalu menggeleng. "Jangan tanyakan sekarang, Mas. Aku sedang berduka."
Dika mengelus kepala Kirana yang sangat ia cintai. Tubuhnya bergetar dan memanas. Ia menangis meraung-raung di depan Kirana yang berubah menjadi terheran-heran. Pasalnya laki-laki tangguh itu tidak pernah menangis. Selama ini jika sedang bermasalah, ia hanya meminta Kirana untuk memeluknya erat dan menghiburnya.
Kirana diam terpekur menatap enam nisan kecil imut di hadapannya. Nisan kecil, tak bernama, dan di antara kuburan-kuburan kecil itu ditumbuhi alang-alang dan teki. Tangannya meski lemah tetap mencabut rerumputan nakal itu kuat-kuat.
"Jangan ganggu anak-anakku!" katanya dengan serak. "Huhuhu...."
Dika berdiri rapuh di balik pintu melihat kepiluan Kirana. Ia merasa paling bersalah. Namun tiba-tiba matanya melotot disertai nafas yang memburu.