Mohon tunggu...
Lina M
Lina M Mohon Tunggu... Lainnya - Wisteria

There's gonna be another mountain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengenai Cinta yang Sederhana dalam Teka-teki Rumitmu

27 Mei 2020   10:41 Diperbarui: 27 Mei 2020   10:44 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tidak banyak tahu tentang dirinya. Tentu saja, ia muncul di kehidupanku baru-baru ini, kira-kira sekitar satu bulan yang lalu. Sebelumnya aku tidak tahu darimana ia berasal, lagipula aku tidak terlalu ingin tahu. Buat apa? Tiap manusia sudah hidup cukup sibuk, aku sendiri sedang berjuang dengan kesibukan dan sakitnya patah hati yang kualami sekaligus.

Awalnya aku tidak terlalu memperhatikan. Untuk apa? Ia hanya manusia pada umumnya yang berjalan dengan dua kaki serta menyandang kepala kemana-mana. Ia bukan manusia yang banyak bicara. Sama sekali aku belum pernah mendengar suaranya. Ia juga bukan manusia yang suka mencari perhatian. Kutegaskan sekali lagi bahwa ia sama halnya dengan manusia pada umumnya, yang tidak pernah kupedulikan.

Keadaan berbalik arah ketika tatapan mataku hinggap padanya suatu sore. Ia berdiri di sampingku, sama-sama menunggu hujan yang malas untuk reda. Seperti yang telah kukatakan tadi ia bukan manusia yang banyak bicara dan suka mencari perhatian, namun ketidak sengajaan tatapan mataku membuatku ingin tahu tentang dirinya. Itulah tatapan pertamaku padanya yang jatuh pada Selasa sore.

Sore itu, pandanganku hanya mengarah pada kilat matanya, kornea berkabut tipis persis seperti jalanan aspal yang hanya kena hujan sebentar. Kabutnya tipis menyebalkan, membuat enggan. Meskipun begitu yang membuatku cukup takjud adalah pupilnya yang seperti sorot pantat kunang-kunang. Tidak sadar, aku tersenyum waktu itu. Tentu saja, ia tidak tahu apa yang terjadi pada wanita aneh yang berdiri di sampingnya.

Hari kedua dan seterusnya aku tidak memandang mata berkabut itu lagi. Itu bukan berarti aku mulai mengabaikannya. Itulah permulaan aku mulai memperhatikan yang lain darinya, apalagi setelah kutemukan sekuntum anyelir yang ia bawa dengan botol kaca berarir.

Ada apa dengan anyelir dan botol itu? Bukankah ada cara yang lebih sederhana untuk menikmati keindahan sekuntum bunga? Maksudku, mengapa harus dengan ribetnya membawa setiap hari?

Pertanyaan demi pertanyaan itulah yang membuatku selalu memperhatikannya. Bukan hanya kornea mata berkabut, pupil kunang-kunang dan bunga anyelir. Semakin lama aku semakin banyak memiliki pertanyaan tentangnya, tentang fedora hat yang membuat wajahnya selalu teduh, tentang sikapnya yang tetap dingin meski ia dikelilingi manusia-manusia rewel yang protes dan mengeluhkan betapa melelahkannya kehidupan di dunia yang tidak adil ini. Tentang gurat wajahnya yang selalu kaku, aku ingin melihat gerakan di wajahnya selain kedipan mata berkabut pupil kunang-kunang itu.

Aku ingin melihatnya tersenyum, sekali saja. Aku sungguh ingin melihatnya. Jika aku menjadi malaikat pencatat amalannya, mungkin aku akan selalu membujuknya untuk setidaknya tersenyum sekali sehari agar urat senyum yang indah itu akan bekerja, bukannya sia-sia begitu saja.

Aku tahu jika ia menyukai suasana ketika hujan, meski tidak bereaksi seperti kodok yang berpesta pora dengan melompat-lompat, menggembungkan leher lalu bersuara sekeras-kerasnya. Semua orang menjauhi basah oleh hujan dengan berteduh di tempat paling lindung agar tetap kering, sedangkan ia malah berani berada di dekat tetes hujan. Terkadang telapak tangannya ditengadahkan bahkan sepanjang hujan itu turun. 

Tidak jarang juga aku melihatnya berjalan santai ditengah derasnya hujan. Ia tampak menikmatinya dengan jas hujan yang dikenakan di sekujur tubuhnya. Jika sudah melihatnya demikian, aku menelan ludah kecewa karena tidak dapat melihat kornea berkabut, pupil kunang-kunang dan bunga anyelirnya dari dekat.

"Sssttt orang aneh itu sudah datang!" seru seorang perempuan kepada teman di sebelahnya. Mereka adalah pelanggan toko roti seberang jalan. Setiap hari mereka membeli kue bulat selai nanas untuk sarapan. Jadi mereka mungkin seperti aku, yang mengamati sesuatu yang sama setiap hari, termasuk aku salah satunya. Mereka juga sering membicarakan jepit rambutku yang selalu berupa mutiara, tidak pernah berganti yang lainnya. Namun tentu saja mereka tidak menyebutku aneh karena aku adalah manusia kebanyakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun