Mohon tunggu...
Limantina Sihaloho
Limantina Sihaloho Mohon Tunggu... Petani - Pecinta Kehidupan

Di samping senang menulis, saya senang berkebun, memasak (menu vegetarian), keluar masuk kampung atau hutan, dan bersepeda ontels.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Latih Anak Berbicara di Depan Umum; Peran Orangtua dalam Pendidikan

6 Januari 2023   00:30 Diperbarui: 6 Januari 2023   00:53 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bung Cipto Lelono,

Secara umum, saya masih bingung dengan sistem pendidikan kita di Indonesia ini. Pun, secara umum, saya rasa, dengan sistem pendidikan yang ada di dunia ini yang bisa jadi modelnya hampir mirip-mirip saja? 

Saya jadi ingat sekarang, Sir Ken Robinson, jenaka membahas pendidikan. Robinson mengatakan bahwa lebih dari 90% anak-anak di bawah usia 5 tahun kreatif. Ini berdasarkan sebuah penelitian. Lalu, anak-anak ini, semakin bertambah usia mereka, persentasi yang kreatif akan semakin berkurang. Ketika mereka berada di tingkat perguruan tinggi, persentasi yang masih kreatif sudah hanya sekitar 5%. 

Artinya ada yang salah dengan sistem pendidikan kita kan? Kenapa anak-anak yang bahkan belum masuk taman kanak-kanak dan sekolah dasar persentasi kreativitas mereka sangat tinggi? Kenapa setelah bertahun-tahun mereka sekolah bahkan ke tingkat perguruan tinggi sebagian besar lalu menjadi goblok? 

Begitu banyak lulusan sarjana yang menjadi goblok karena hanya mengharapkan panggilan kerja, hanya berharap menjadi budak orang lain. Apa artinya berada di sekolah sejak TK sampai PT lalu berakhir menjadi budak orang lain? Apa yang salah di sini? 

Lebih dari satu dekade yang lalu, ketika saya mulai tinggal di sebuah kampung di Sumatra Utara, saya mulai memperhatikan dengan tidak sengaja sebenarnya, prilaku beberapa anak sekolah. Saya perhatikan, misalnya, ada anak-anak sekolah itu yang membuang bungkus jajanan mereka begitu saja. Kebetulan sekali waktu saya melihat tindakan macam itu terjadi di depan rumah saya. Saya diam saja tetapi saya menjadi bertanya-tanya: "Kenapa bisa begitu?" 

Saya merenung-renungkan pertanyaan itu. Saya rasa ada kaitannya dengan kenyataan bahwa pada umumnya, karena sekolah itu membuat kita terkurung dalam ruangan hampir kalau bukan setiap hari sekolah, kita secara tidak sadar malah menjadi terputus dari Alam. 

Kita dipisahkan dari Alam. Itu sebab mengapa seorang anak sekolah bisa buang sampah saja sembarangan sebab dia sudah terputus batinnya dengan Alam. Sudah terputus jadi dia tidak sadar dengan perbuatannya itu. Siapa yang salah?

Itu satu contoh yang saya kira bisa kita temukan di mana saja di dunia ini sebab sampah juga berserakan di hampir seluruh dunia kan. Di hampir seluruh dunia, sistem dan model pendidikan juga mirip, orang dikurung di dalam ruangan, terpisah dari alam. Kalaupun ada sekolah-sekolah yang beda, jumlahnya masih sangat sedikit dengan yang konvensional. 

Tentu ada alasan mengapa desain kurikulum kita sejauh ini masih begitu-begitu saja. Syukur sudah mulai ada perubahan dengan terbitnya Kurikulum Merdeka walau sepanjang yang saya amati, apa yang berlangsung masih dominan seperti -biasa tapi baiklah kita dukung proses perubahan dalam dunia pendidikan kita, apakah kita orang tua atau wali, guru, pemerintah, masyarakat dan siapa saja yang peduli. 

(Wawancara singkat dengan Tongam Sirait/Dokpri)
(Wawancara singkat dengan Tongam Sirait/Dokpri)

Pengalaman karena Terpaksa

Saya melatih ponakan saya, Paulina Sihaloho, kelas I SMA di sebuah sekolah Katolik di Pematang Siantar untuk membuat presentasi apa saja setiap pagi sebelum dia berangkat sekolah. Tadinya saya mau agar dia berlatih berbicara, supaya terbiasa berbicara. Selama beberapa bulan, saya biarkan dia memilih topik yang dia suka. 

Ternyata, ada gunanya. Dia bilang begitu. Satu contoh: Guru Bahasa Indonesia di kelasnya meminta semua murid menceritakan ulang di depan kelas hikayat yang ada dalam buku pelajaran mereka. Paulina memberitahukan saya tentang hal itu. Lalu saya bilang, "Ya sudah, besok pagi kau rekaman sebelum sekolah dengan mengisahkan hikayat itu ya!" 

Pagi tiba. "Saya belum hafal semua", begitu kata Paulina. Saya agak bentak dia, "Loh, kok kau belum hafal? Hari ini kalian maju ke depan kelas kan?" Dia langsung mulai berkisah dan bisa. Saya bisa ulang kisahnya itu walaupun hanya sekali dengar.

Pulang sekolah Paulina menceritakan apa yang terjadi. Dari semua murid yang ada di kelasnya, hanya dia yang bisa mengisahkan hikayat itu di depan kelas.  

((SirKen Robinson (Doc. TED))
((SirKen Robinson (Doc. TED))

Itu mengecewakan bagi saya: kenapa hanya Paulina yang bisa, yang lain tidak? Ada apa? Paulina bilang, "Sebenarnya teman-teman kelasku itu banyak yang bisa tetapi begitu berada di depan kelas, mungkin jadi grogi dan akhirnya nggak bisa." 

Berarti soal latihan berbicara di depan orang atau di depan publik kan? Nah, di sekolah, karena satu kelas biasanya terdiri dari sekitar 30-an murid, kesempatan untuk setiap murid berbicara kan terbatas. Jadi, dalam situasi seperti ini, orang tua/wali sebaiknya mengambil porsi partisipasi yang lebih besar. Bentuknya bisa bermacam-macam, salah satunya seperti apa yang Paulina Sihaloho lakukan setiap pagi sebelum berangkat sekolah: presentasi di depan kamera.

Saya perhatikan, ada banyak manfaatnya bagi dia. Saya rasa, kemampuan metakognitifnya juga menjadi lebih baik. Memang harus sabar berlatih. Saya bisa perhatikan bagaimana bekas mentalitas "terima dan lakukan saja sesuai perintah" melekat dalama dirinya. SD san SMP dia sekolah di negeri. Kami memang agak ngotot agar dia sekolah di swasta saja begitu selesai SMP, di SMA Bintang Timur, Pematang Siantar. 

Bagaimanapun, kalau mau jujur, aspek-aspek pengembangan metakognitif murid lebih terjamin di sekolah ini daripada di negeri. Terus terang sajalah, ngapai pala kita tutup-tutupi kan?***  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun