Mohon tunggu...
Lilis RaniNuraeni
Lilis RaniNuraeni Mohon Tunggu... Guru - Guidance and Counseling teacher

Belajar berkarya melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pentingnya Empati Dalam Kehidupan Sosial

5 Januari 2023   14:51 Diperbarui: 5 Januari 2023   15:56 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Manusia khususnya peserta didik merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam keadaan dan situasi apapun peserta didik memerlukan orang lain. Menurut Sears (Asih & Pratiwi, 2010 hlm. 38) manusia adalah makhluk sosial yang hidupnya bergantung pada individu lain.
Peserta didik merupakan bagian dari makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan orang lain dan melakukan interaksi sosial. Peserta didik dapat memberikan arti terhadap perilaku orang lain yang meliputi "penilaian, stereotype, kategorisasi sosial bermunculan sesaat setelah bertemu dengan orang lain" (Nashori, 2008 hlm. 5). Ketika berinteraksi dengan orang lain, peserta didik akan menemukan berbagai sifat dan karakter serta perbedaan kondisi yang dialami oleh setiap orang.
Interaksi sosial merupakan hubungan atau komunikasi yang dilakukan peserta didik dengan orang lain yang berbentuk kerjasama, persaingan dan pertentangan. Menurut Larasati (Nahsori, 2008 hlm. 27) sekitar 73 % komunikasi yang dilakukan manusia merupakan komunikasi interpersonal. Dapat dipahami bahwa komunikasi efektif dalam kehidupan sosial didorong oleh adanya kemampuan peserta didik untuk memahami komunikasi interpersonal yang ada dalam lingkungannya.
Peserta didik diharapkan dapat memahami keadaan dari lawan bicaranya meliputi perasaan, kondisi, keinginan dan kebutuhan orang lain karena dalam berkomunikasi peserta didik akan menemukan pesan yang bersifat verbal dan nonverbal. Hal tersebut menuntut peserta didik untuk memahami pesan-pesan yang diberikan oleh lingkungan baik itu pesan verbal maupun nonverbal. Menurut Goleman (2000 hlm. 137) "90% atau lebih dari pesan emosional bersifat nonverbal". Kemampuan dalam menangkap pesan nonverbal tersebut akan muncul dengan sendirinya, akan tetapi baik buruknya dalam menangkap pesan tersebut pada umumnya dipelajari sendiri.
Nashori (2008 hlm. 5) menyebutkan bahwa bahasa nonverbal diasumsikan dapat memberikan informasi yang akurat mengenai keadaan seseorang. Kemampuan peserta didik dalam memahami emosi orang lain melalui bahasa nonverbal yang diekspresikan dengan berbagai gerak tubuh merupakan sebuah kemampuan sosial yang diperlukan untuk menjaga hubungan dengan orang lain. Menurut Zuriah (2011 hlm. 37) "relasi antarpribadi lebih baik karena adanya penghayatan akan perasaan orang lain".
Dalam upaya mewujudkan hubungan yang harmonis di lingkungan sosial dibutuhkan kemampuan untuk memahami emosi orang lain yang harus dimiliki peserta didik. Goleman (2000 hlm. 158) menyebutkan bahwa "menangani emosi orang lain membutuhkan kematangan dan keterampilan emosional, yaitu manajemen diri dan empati". Dengan dimilikinya keterampilan emosional tersebut dapat membantu peserta didik dalam membina hubungan yang baik dengan orang lain, namun apabila keterampilan emosional tidak dimiliki akan menimbulkan konflik antarpribadi dalam kehidupan sosial.
Berdasarkan hasil penelitian Fitri (2008) pada mahasiswa tingkat satu di seluruh jurusan Universitas Gunadarma, diperoleh bahwa empati memiliki kontribusi yang signifikan terhadap kompetensi komunikasi interpersonal pada mahasiswa tingkat satu. Kontribusi yang diberikan sebesar 53,7% sedangkan 46,3% kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lainnya, antara lain: kepekaan (sensitivity), sikap perspektif (perspectiveness), sikap tanggap (responsiveness) dan lain sebagainya.
Empati tidak hanya berkaitan pada komunikasi interpersonal saja,
akan tetapi empati juga berkaitan dengan kecerdasan moral peserta didik. Piaget dan Kohlberg (Gunarsa, 2008 hlm. 74) menekankan bahwa "empati sebagai unsur utama dalam perkembangan moral seseorang". Empati memiliki hubungan yang sangat kuat dengan kecerdasan moral karena menurut Hoffman (Goleman, 2000 hlm. 147) akar moralitas ada dalam empati. Sehingga dapat dipahami bahwa empati memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan moral peserta didik. Borba (2008 hlm. 18) menjelaskan bahwa "empati muncul secara alamiah dan sejak usia dini, anak-anak lahir dengan membawa sifat yang besar manfaatnya bagi perkembangan moral".
Borba (2008 hlm. 10) menyebutkan ada tujuh kebajikan yang harus dimiliki peserta didik untuk mengembangkan kecerdasan moral yaitu empati, nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi dan keadilan. Dari tujuh kebajikan tersebut ada tiga kebajikan utama dalam mengembangkan kecerdasan moral yaitu empati, nurani dan dan kontrol diri yang kemudian disebut sebagai inti moral. Apabila inti moral telah dimiliki dengan kuat akan memberikan kekuatan pada peserta didik untuk bertindak secara benar. Dalam hal ini, dapat disimpulkan apabila empati telah dimiliki dengan kuat maka akan membuat peserta didik menjadi individu yang memiliki perilaku baik. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Iis menurut hasil penelitiannya (2012) bahwa "orang yang memiliki empati cukup tinggi akan mempunyai etika moral yang cukup tinggi pula dalam masyarakat".
Potensi empati telah dimiliki sejak bayi, namun perkembangan empati pada setiap peserta didik berbeda karena pengaruh dari lingkungan sosialnya. Ibung (2009 hlm. 132) menjelaskan bahwa "empati merupakan bawaan dari lahir, namun tidak akan berkembang jika tidak diberi kesempatan dalam kehidupan seorang anak". Pola asuh orangtua yang kurang tepat, kurangnya teladan perilaku empati, kurangnya pendidikan agama, serta perkembangan dunia teknologi pun kurang lebih memberikan pengaruh terhadap perkembangan empati peserta didik.
Peserta didik yang mampu berempati akan menimbulkan perilaku prososial sebagaimana hasil penelitian Asih & Pratiwi (2010 hlm. 33) menyebutkan empati memiliki hubungan yang positif dengan perilaku prososial. Kemudian penelitian Wulandari (2012 hlm. 99) di PPA Solo menghasilkan bahwa empati merupakan salah satu faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku prososial remaja dan empati memberi pengaruh lebih besar dari pada pola asuh demokratis.
Maka, dapat dipahami bahwa apabila peserta didik kurang memiliki empati akan menimbulkan perilaku antisosial pada diri peserta didik. Seperti yang dijelaskan Santrock (2003 hlm. 453) "pada anak-anak yang lebih tua dan remaja, disfungsi empati dapat menyebabkan munculnya tingkah laku antisosial". Kemudian Lickona (2012 hlm. 95) menjelaskan bahwa penurunan empati akan menimbulkan kejahatan dan tindakan-tindakan brutal, yang mana pelaku tidak dapat berempati kepada korban.
Hasil penelitian Rachmah (2014 hlm. 57) pada pelaku bullying di sekolah menengah atas menghasilkan bahwa individu melakukan bullying baik secara fisik, psikis maupun verbal karena memiliki kemampuan empati yang rendah. Rendahnya empati pada pelaku bullying menyebabkan pelaku kurang memahami dan tidak peduli terhadap kondisi korban dan cenderung melakukan kekerasan kepada korban.
Selain itu perilaku antisosial yang diasumsikan berhubungan dengan rendahnya empati dan moralitas peserta didik terjadi sangat beragam dari ketidakjujuran hingga tindak kekerasan dan pengabaian diri, seperti penyalahgunaan narkoba dan tindakan bunuh diri (Lickona, 2012 hlm. 4). Sulistiyo (2013, okezone.com) memaparkan kasus-kasus yang menyangkut moralitas pelajar di Indonesia antara lain pelajar SMP membuat video mesum di kelas, pelajar menyiram air keras ke dalam bus untuk mencelakai orang yang tidak disukainya, sekelompok pelajar membajak bus dan kasus perpeloncoan senior yang menyebabkan korban meninggal. Kasus moralitas tersebut berhubungan dengan budaya dan kemampuan menalar peserta didik terhadap lingkungan sosialnya. Kasus moralitas tersebut mengindikasikan bahwa peserta didik masih memiliki empati yang rendah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun