Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Mengapa Kata "Santuy" Tidak Masuk KBBI Seperti Istilah Kekinian Lainnya?

17 Desember 2019   17:03 Diperbarui: 18 Desember 2019   04:35 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pixabay.com

Membaca salah satu judul Topik Pilihan yang tengah berlangsung di Kompasiana saat ini, saya tertarik dengan istilah-istilah yang dipilih Admin sebagai judul topik tersebut. "Liburan Santuy Dobel Reward", sebuah judul yang menggelitik.

Saya kira Admin telah menentukan pilihan pada empat kata tersebut dengan salah satu pertimbangannya untuk menarik perhatian khalayak. 

"Liburan" adalah sebuah kata yang tengah aktual mengingat masa liburan sekolah memang bakal segera menjelang. Kata kedua, "santuy", akan menjadi pokok bahasan tulisan ini.

Sementara itu, gabungan kata "dobel reward" pasti menarik perhatian banyak orang. Tak terkecuali saya. Memperoleh reward yang dobel tentu lebih menyenangkan ketimbang penghargaan yang tunggal.

ilustrasi: kompasiana.com
ilustrasi: kompasiana.com
Namun ungkapan "dobel reward" agak mengusik pikiran saya. Kata "dobel" merupakan pengindonesiaan kata "double" yang menurut KBBI memiliki makna "rangkap dua", "lipat dua", "dua sekaligus", "kembar" dan "bermain berpasangan". 

Sedangkan kata "reward" merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang kerap digunakan oleh penutur bahasa Indonesia.

Jika ingin menggunakan pola bahasa asli asal istilah tersebut, mungkin sebaiknya frasa itu ditulis "double reward". Namun jika tetap menginginkan kata "double" yang telah diindonesiakan menjadi "dobel", maka ungkapan yang tepat barangkali "reward dobel" atau yang lebih pas dalam bahasa Indonesia "penghargaan dobel" atau "hadiah ganda".

Itu pembukaannya. Selanjutnya, kita akan memasuki pembahasan utama artikel ini.

Bahasa Kekinian
Setiap generasi memiliki kecenderungan berbahasa tersendiri. Dan generasi mutakhir telah membuat pening kepala banyak orang yang lahir pada zaman sebelumnya. 

Anak-anak muda itu seakan-akan alergi berkata-kata dan berkomunikasi menggunakan sedemikian banyak kosa-kata dalam bahasa yang telah ada. Maka generasi itu lantas menciptakan banyak istilah baru untuk berkomunikasi terutama dalam lingkungan mereka sendiri.

Banyak sekali ungkapan baru yang sangat digemari anak-anak generasi terkini dan awalnya hanya dimengerti oleh kalangan mereka sendiri. Orang-orang dari angkatan yang berbeda harus menerka, apa makna ungkapan-ungkapan anak-anak muda itu.

Kita sering mendapati kata-kata seperti "mager", "maksi", "julid" dan masih banyak lagi istilah-istilah yang terdengar asing bagi telinga orang awam. Ungkapan-ungkapan semacam itu seperti datang dari planet lain diangkut oleh pesawat-pesawat UFO yang sempat mendarat di bumi.

Untung saja mesin-mesin pencari selalu siaga satu. Mereka senantiasa bersiap sedia memberikan pertolongan bagi siapa pun yang ingin dibantu. Tak pernah membedakan suku, agama, ras dan golongan.

Nah, berkat pertolongan mesin yang baik hati itulah, saya bisa memahami sebagian dari sekian banyak ungkapan-ungkapan kaum milenial yang tak ada dalam kamus resmi bahasa kita. Jika tidak ada mesin-mesin itu, entah bagaimana cara memahami bahasa anak muda.

Beberapa waktu lalu, kompas.com mewartakan adanya beberapa istilah kekinian khas generasi milenial yang telah masuk ke dalam KBBI. 

Saya pun segera menelusuri KBBI Daring dan menemukan sejumlah istilah yang disebutkan dalam berita tersebut, seperti "pansos", "mager", "maksi" dan "julid" telah menjadi "warga" baru KBBI.

Namun demikian, ketika saya mencoba mencari istilah-istilah lain yang juga ngetrend di kalangan kaum milenial, saya tidak berhasil menjumpainya di KBBI. Beberapa kata yang tidak saya temukan antara lain tsadeest, haqq, bosque, tercyduk dan santuy.

ilustrasi: kbbi.kemdikbud.go.id
ilustrasi: kbbi.kemdikbud.go.id
Pedoman Pembentukan Istilah
Badan Bahasa di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selaku pengelola KBBI telah memberikan ruang yang luas bagi warga mana pun untuk menyampaikan usulan istilah-istilah baru untuk dimasukkan ke dalam KBBI. 

Caranya mudah saja, bisa melalui KBBI Daring atau melalui surat. Selanjutnya, kita tinggal menunggu hasil pembahasan internal mereka.

Badan Bahasa memiliki aturan dalam menetapkan apakah suatu istilah dapat diakui menjadi bagian resmi dalam bahasa Indonesia atau tidak. Setidaknya, terdapat lima syarat yang harus diperhatikan dalam menentukan istilah baru, yakni:

  1. Istilah yang dipilih adalah kata atau frasa yang paling tepat untuk mengungkapkan konsep termaksud dan yang tidak menyimpang dari makna itu,
  2. Istilah yang dipilih adalah kata atau frasa yang paling singkat di antara pilihan yang tersedia yang mempunyai rujukan sama.
  3. Istilah yang dipilih adalah kata atau frasa yang bernilai rasa (konotasi) baik.
  4. Istilah yang dipilih adalah kata atau frasa yang sedap didengar (eufonik).
  5. Istilah yang dipilih adalah kata atau frasa yang bentuknya seturut kaidah bahasa Indonesia.

Istilah-istilah tsadeest, haqq, bosque, tercyduk dan santuy pada dasarnya hanya merupakan perubahan bunyi dari kata-kata yang telah ada. Makna dari kata-kata baru karya para milenial itu sama atau hampir sama dengan kata-kata aslinya. 

Dengan demikian, syarat pertama pembentukan istilah baru terpenuhi oleh kelima contoh istilah dimaksud.

Kelima istilah kekinian tersebut hanya terdiri dari satu kata, sama dengan istilah pendahulunya. Jadi, aturan kedua yang mensyaratkan ringkas pun dapat dilalui dengan mulus. 

Aturan ketiga juga tak akan menjadi penghambat karena makna istilah-istilah baru itu tak berubah dibandingkan istilah terdahulu. Jika makna istilah lama bernilai rasa (konotasi) baik, yang baru tentu juga demikian.

Yang paling menarik tentu saja aturan yang keempat. Barangkali kemunculan istilah-istilah semacam ini memang dimaksudkan untuk mendapatkan kata-kata yang lebih "seksi" terutama di telinga anak-anak muda. 

Jadi, aturan keempat bukan hanya tak menjadi masalah, justru ia menjadi suatu kondisi yang dituju. Setidaknya, seperti itulah yang saya pahami.

Nah, saya mengira batu sandungannya terletak pada syarat kelima. Istilah-istilah yang digandrungi anak-anak zaman now itu bukan hanya tak seturut kaidah bahasa Indonesia, tapi justru meninggalkannya.

Bayangkan saja, kata-kata sadis, hakiki dan bosku yang telah sesuai dengan kaidah malah di-"asing-asing"-kan menjadi tsadeest, haqq dan bosque. Bahasa kita tak mengenal fonem-fonem "double e", double q" dan "que".

Demikian pula dengan dua kata kekinian yang lain. 

Kedua istilah itu -tercyduk dan santuy- mengandung huruf "y" yang berlafal "i". Sesuai pedoman bahasa Indonesia, huruf-huruf tersebut harus ditulis "i". Terang saja istilah-istilah itu tidak direstui. Sudah benar berhuruf "i" malah diganti "y".

Begitulah anak-anak muda zaman kini. Jika tidak ada kreativitas semacam ini, mungkin dunia akan terasa membosankan. Kita akan berkutat dalam dunia dengan dua gunung kembar yang memunculkan matahari di tengah-tengahnya. Untuk yang terakhir ini, anak-anak milenial mungkin tak paham.

Referensi: kompasiana.com, kompas.com, cnnindonesia.com, badanbahasa.kemdikbud.go.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun