Aturan ketiga juga tak akan menjadi penghambat karena makna istilah-istilah baru itu tak berubah dibandingkan istilah terdahulu. Jika makna istilah lama bernilai rasa (konotasi) baik, yang baru tentu juga demikian.
Yang paling menarik tentu saja aturan yang keempat. Barangkali kemunculan istilah-istilah semacam ini memang dimaksudkan untuk mendapatkan kata-kata yang lebih "seksi" terutama di telinga anak-anak muda.Â
Jadi, aturan keempat bukan hanya tak menjadi masalah, justru ia menjadi suatu kondisi yang dituju. Setidaknya, seperti itulah yang saya pahami.
Nah, saya mengira batu sandungannya terletak pada syarat kelima. Istilah-istilah yang digandrungi anak-anak zaman now itu bukan hanya tak seturut kaidah bahasa Indonesia, tapi justru meninggalkannya.
Bayangkan saja, kata-kata sadis, hakiki dan bosku yang telah sesuai dengan kaidah malah di-"asing-asing"-kan menjadi tsadeest, haqq dan bosque. Bahasa kita tak mengenal fonem-fonem "double e", double q" dan "que".
Demikian pula dengan dua kata kekinian yang lain.Â
Kedua istilah itu -tercyduk dan santuy- mengandung huruf "y" yang berlafal "i". Sesuai pedoman bahasa Indonesia, huruf-huruf tersebut harus ditulis "i". Terang saja istilah-istilah itu tidak direstui. Sudah benar berhuruf "i" malah diganti "y".
Begitulah anak-anak muda zaman kini. Jika tidak ada kreativitas semacam ini, mungkin dunia akan terasa membosankan. Kita akan berkutat dalam dunia dengan dua gunung kembar yang memunculkan matahari di tengah-tengahnya. Untuk yang terakhir ini, anak-anak milenial mungkin tak paham.
Referensi: kompasiana.com, kompas.com, cnnindonesia.com, badanbahasa.kemdikbud.go.id