Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Apakah Orangtua Siap Menjalani Sekolah 3 Hari Seperti Usulan Kak Seto?

7 Desember 2019   22:42 Diperbarui: 9 Desember 2019   11:25 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak belajar| Sumber: pexels.com

Wacana sekolah tiga hari yang dilontarkan Seto Mulyadi alias Kak Seto membuat ingar-bingar dunia pendidikan. Usulan yang diajukan Kak Seto kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim tersebut menuai banyak reaksi dari berbagai kalangan.

Sejauh yang saya ketahui, reaksi menolak wacana "penyunatan" waktu sekolah tersebut cukup banyak. Pelbagai sanggahan merebak baik melalui bisik-bisik antar teman dan tetangga maupun lontaran-lontaran di media daring dan media sosial.

Apakah orangtua siap menyambut sekolah tiga hari?

Saya, terutama selaku orangtua, sempat terkejut dan bertanya-tanya, siapkah kita menerima dan menjalankan konsep sekolah dengan durasi belajar yang amat singkat itu? Beberapa hal segera terbayang dalam benak saya.

Pertama, terkait waktu luang anak-anak. Sistem sekolah yang hanya tiga hari dalam seminggu akan menyisakan demikian banyak waktu luang bagi anak-anak. Mengingat sistem sekolah yang kini ada dengan lima atau enam hari sekolah saja, banyak orangtua sudah sangat dipusingkan dengan cara anak-anak mengisi waktu luang mereka.

Salah satu pemandangan yang mencolok mata dan menjadi persoalan besar adalah menawannya dunia gawai. Sedemikian banyak anak-anak (usia) sekolah yang terpenjara oleh semaraknya dunia hiburan yang ditawarkan sebuah kemajuan teknologi dalam genggaman mereka.

Apakah "generasi penunduk" tidak akan semakin memenuhi jalan dan tempat-tempat umum lainnya?

Kedua, kecukupan asupan pelajaran bagi anak-anak. Bagi sebagian orang, sekolah yang berlangsung lima atau enam hari dalam sepekan masih terasa kurang memberikan pelajaran anak-anak. Seusai jam sekolah, banyak orang merasa perlu menambah jam belajar anak-anak dengan berbagai les dan semacamnya.

Belum lagi jika kita bicara masalah moral dan etika. Sistem pendidikan dengan sekolah-sekolah yang ada tampak belum berhasil menanamkan sikap dan perilaku yang baik dalam diri anak-anak didik. 

Bagaimana kita masih sering menyaksikan tawuran antar kelompok pelajar, siswa yang memperlakukan guru dengan tidak sopan, siswa yang terlibat kriminal dan banyak lagi contoh-contoh yang lain.

Memang sisi moral anak-anak tidak akan otomatis menjadi lebih baik dengan jam sekolah yang lebih panjang. Namun bila dipikir dengan logika, jam sekolah yang pendek akan mengurangi kesempatan anak-anak memperoleh bekal pendidikan.

Klarifikasi Kak Seto
Dalam kesempatan berikutnya, Kak Seto menyampaikan klarifikasi terkait kehebohan usulan sekolah tiga hari tersebut. Ia menyatakan telah terjadi kesalahpahaman atas wacana yang dilontarkannya. Menurutnya, sekolah tiga hari hanya satu bagian dari sistem sekolah secara keseluruhan.

Menurutnya, sistem pendidikan di negara kita terdiri dari sekolah formal dan non formal. Sekolah formal seperti yang umum kita kenal sekarang ini. Sedangkan pendidikan non formal bisa berupa kursus dan bimbel yang juga telah akrab dengan kehidupan kita.

Di antara sistem pendidikan non formal ada juga yang dinamakan homeschooling, yang meskipun telah cukup lama keberadaannya tetapi sepertinya belum banyak dikenal masyarakat. Sepertinya praktik homeschooling inilah yang dimaksudkan Kak Seto sebagai sekolah tiga hari.

Saya kira, wacana sekolah tiga hari yang dimaksudkan Kak Seto tak lepas dari pengalamannya menjalankan sistem pendidikan alternatif di luar sekolah formal. Sebuah sistem pendidikan yang kita kenal sebagai homeschooling.

Dalam sebuah bukunya yang berjudul "Home Schooling Keluarga Kak-Seto", pecinta anak-anak itu menjelaskan soal konsep homeschooling. Latar belakang dibentuknya sekolah jenis ini dipaparkan dalam pengantar buku yang dimaksudkan sebagai panduan praktis penyelenggaraan homeshooling itu.

"Homeschooling bukanlah lawan pendidikan di sekolah formal dan non formal (kursus-kursus). Homeschooling bukan sebuah cara untuk melarang anak untuk bersekolah di sekolah formal."

Sesuai penjelasannya di atas, homeschooling tidak dimaksudkan untuk menjadi lawan sekolah formal. Tidak juga ditujukan untuk menggantikan (dalam arti meniadakan) sekolah formal dan non formal lainnya.

Lebih lanjut, masih dalam buku yang sama, Kak Seto juga menyatakan bahwa sistem homeschooling dibangun untuk mendukung sekolah formal, di antaranya menerima anak-anak usia sekolah yang tidak dapat diterima di sekolah formal.

"Homeshooling, sebaliknya dari semua itu, ingin mendukung sekolah formal. Apa yang mungkin kurang di sekolah formal, diharapkan dapat ditambal oleh homeshooling. Anak-anak yang tidak dapat diterima di sekolah formal harus dapat memperoleh hak belajarnya di homeshooling."

Klarifikasi yang disampaikan Kak Seto terkait hiruk-pikuk wacana sekolah tiga hari, jika benar yang dimaksudkannya adalah homeschooling, tampaknya sejalan dengan kalimat yang dituliskannya dalam pengantar bukunya di atas.

Secara umum, homeschooling bisa dibedakan menjadi tiga jenis. Ketiga macam homeschooling itu adalah homeschooling tunggal, majemuk dan komunitas.

Nah, homeschooling jenis komunitas mewajibkan siswa hadir ke sekolah dalam frekuensi tertentu, misalnya tiga hari dalam seminggu seperti yang dijalankan Kak Seto. Jam belajar di kelas pun umumnya tak sebanyak di sekolah formal, misalnya tiga jam dalam sehari.

Dan tidak seluruh jam belajar dilakukan di dalam kelas. Sebagian waktu belajar dilakukan langsung di lapangan dengan mengunjungi tempat-tempat tertentu seperti museum, pasar, tempat-tempat pertunjukan seni, dan lain-lain.

Di luar itu ada juga penyelenggara homeschooling yang memiliki program kunjungan guru ke rumah siswa dengan jadwal yang telah ditentukan. Selebihnya tentu saja orangtua harus sangat banyak berperan membimbing putra-putri mereka memperoleh hak pendidikan.

Membayangkan "pekerjaan rumah" yang akan banyak bertambah, orangtua yang terbiasa dengan sistem sekolah formal tentu saja terpana mendengar wacana sekolah tiga hari yang yang sempat viral itu.

Bila sekolah tiga hari yang diusulkan Kak Seto dimaksudkan untuk dijalankan bagi seluruh sistem pendidikan kita, dengan kata lain akan meniadakan sekolah-sekolah formal, kehebohan akan terus berlanjut.

Namun jika wacana itu digagas sebagai sebuah alternatif dan hanya menjadi satu bagian dari sistem pendidikan, yang sebenarnya telah berlangsung hingga kini, saya kira konsep homeschooling tidak perlu terlalu diperdebatkan. 

Toh para orangtua berhak menentukan pilihan jenis sekolah bagi anak-anak, apakah mengikuti jalur sekolah formal atau non formal.

Referensi:
1. kompas.com
2. "Homeschooling Keluarga Kak-Seto", Seto Mulyadi, Penerbit Kaifa, Bandung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun