Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Soal Literasi, Bapak Punya Cara Sendiri

17 November 2019   12:10 Diperbarui: 17 November 2019   13:39 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pixabay.com

Literasi dinilai sebagai sesuatu yang sangat berarti pada masa kini. Urusan yang satu ini ditengarai sebagai salah satu penentu sikap seseorang menghadapi berbagai persoalan yang terjadi.

Maraknya ucapan kebencian dan mudahnya orang menyebarkannya merupakan satu indikasi rendahnya pemahaman literasi. Hoaks yang merajalela dan mendominasi media menjadi contoh yang lain lagi.

Celakanya, menurut beberapa studi, negeri kita masuk peringkat bawah dalam kemampuan literasi. Beberapa lembaga bertaraf internasional, semisal Central Connecticut State University, menempatkan Indonesia pada posisi yang memprihatinkan dalam urusan ini. Maka, banyak pihak telah mencanangkan perlunya peningkatan pemahaman literasi.

Berkaitan dengan persoalan literasi, saya mengingat kiprah almarhum Bapak saya. Apakah Bapak saya memiliki gedung perpustakaan besar dengan ribuan judul buku yang bebas diakses siapa saja? Ataukah beliau telah melakukan perjalanan keliling nusantara dan membagi-bagikan buku-buku bermutu kepada setiap orang yang dijumpainya?

Literasi Masa Kecil
Di masa kecil saya, sekira usia SD hingga SMP, malam menjelang tidur menjadi waktu yang sangat berharga. Antusiasme selalu menghiasi wajah kami menyambut waktu istimewa ini.

Biasanya kami akan ribut berebut posisi. Masing-masing dari kami menginginkan satu di antara dua tempat terdekat dengan Bapak. Padahal kami enam bersaudara, meskipun tidak selalu bersama-sama di satu tempat dalam waktu bersamaan.

Tak jarang Bapak harus bersusah payah melerai pertikaian. Sering pula ada yang harus menangis dan lalu ngambek meninggalkan arena. Arena kami adalah sebuah dipan lebar yang bisa memuat empat orang, atau lima kalau dipaksakan.

Bapak selaku tokoh sentral dalam "perhelatan" ini selalu mengambil posisi di tengah. Lalu anak-anak mengerumuninya di kiri dan kanan. Yang kalah dalam persaingan terpaksa berbaring di bagian tepi dipan. Dengan muka agak sedih ia harus berjarak dengan Bapak.

Jika semua telah berada pada posisi masing-masing, maka Bapak segera memulai "pertunjukan". Dengan gaya santai dan kadang-kadang diselingi gerakan tangan dan kepala, Bapak beraksi membawakan cerita. Sesekali ia berusaha menirukan suara tokoh cerita, menjadi seumpama seorang raksasa atau seekor singa.

Dongeng-dongeng tradisional menjadi materi utama kisah-kisahnya. Dongeng "Sang Kancil" dan "Timun Emas"--sebagai contoh--entah telah berapa ratus atau mungkin berapa ribu kali dibawakannya. Begitu pula cerita-cerita rakyat semacam "Kerbau Melawan Singa", "Joko Tingkir dan Empat Puluh Ekor Buaya" dan beberapa kisah seru lainnya.

Dan kami, anak-anak yang menjalani masa kecil di sebuah pelosok desa, tak pernah merasa bosan dengan dongeng-dongeng yang diceritakan Bapak. Bahkan kami selalu antusias dan tak sabar menantikannya. Tak menjadi soal sekalipun bahan ceritanya lawas dan "itu-itu saja".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun