Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ayah dan Buku, Sosok Pemicu Prestasi Habibie

12 September 2019   17:31 Diperbarui: 12 September 2019   17:40 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Segudang prestasi BJ Habibie tak didapatnya dengan berleha-leha. Potensi dalam diri Rudy, nama panggilan BJ Habibie kecil,  berkembang sangat baik karena diasah dengan cara baik dan sabar. Pada masa kecilnya, Rudy banyak belajar dari sosok-sosok yang menginspirasi.

Ayah Rudy dan buku-buku yang disediakannya bagi Rudy merupakan petani dan pupuk yang menyuburkan bibit-bibit semangat belajar Rudy. Keduanya, selain tentu banyak hal lainnya, telah mengantarkan Rudy kecil menjelma menjadi BJ Habibie dewasa yang mendatangkan banyak maslahat bagi umat, khususnya rakyat Indonesia.

Rasa Ingin Tahu yang Terpuaskan
Rudy yang kala itu berusia 2-3 tahun dikenal sangat cerewet. Rasa ingin tahunya demikian tinggi. Ia menanyakan hampir semua ketidaktahuan yang ditemuinya sehari-hari. Ia selalu dilanda rasa penasaran, mengapa sesuatu bisa menjadi seperti keadaan yang dilihatnya. Dan ia tidak tahan untuk menyimpan keingintahuannya tanpa mencari jawaban.

Ayah Rudy, Alwi Abdul Djalil Habibie, menjadi sasaran Rudy untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Dan sang ayah memiliki wawasan dan kesabaran membimbing anaknya. Ia menanggapi pertanyaan-pertanyaan sang anak dengan tingkat keseriusan tinggi, tetapi kalimat-kalimat yang disampaikannya mudah dimengerti. Alhasil, Rudy puas dan terinspirasi.

Kompas.com dalam sebuah ulasannya hari ini memberikan sebuah contoh cara Alwi menanggapi sebuah pertanyaan Rudy. Tanggapan yang diberikannya sungguh bijaksana, ilmiah tetapi mudah dicerna.

Suatu ketika, saat Rudy berusia 3 tahun, ia menyaksikan ayahnya tengah menggabungkan dua batang pohon mangga yang berbeda jenis. Kegiatan ayahnya tersebut mengusik rasa ingin tahu Rudy. Maka ia pun menanyakan hal itu kepada ayahnya.

"Papi sedang melakukan eksperimen, jadi kita bisa menemukan jawaban dari percobaan. Nah, ini namanya setek. Batang yang di bawah itu adalah mangga yang ada di tanah kita, tapi rasanya tidak seenak mangga dari Jawa. Jadi, batang Mangga dari Jawa, Papi gabungkan dengan batang yang di bawah ini." Demikian ayah Rudy memberikan penjelasan.

Belum puas mendengar uraian sang ayah, Rudy kembali bertanya, "Mengapa Papi gabungkan?"

Ayahnya kembali memberikan jawaban, "Agar kamu dan teman-teman bisa makan mangga yang enak."

Lantas Rudy yang kritis bertanya lagi, "Kalau gagal bagaimana?"

Dengan sabar ayahnya memberikan tanggapan yang menyenangkan hati, "Kita cari cara lain dan pohon mangga lain agar bisa tumbuh di sini."

Demikian menyenangkannya jawaban seorang ayah atas pertanyaan anaknya. Jawaban seperti itu tentu akan merangsang anak semakin banyak bertanya. Risiko yang harus ditanggung orang tua, semakin dijawab anak semakin banyak bertanya.

Saat kesibukan Alwi tidak memungkinkannya untuk selalu berada di samping Rudy dan anak-anaknya yang lain, ayah bijak itu menyediakan buku-buku sebagai alternatif tempat anak-anak mencari tahu. Setelah itu, selain ayahnya, buku menjadi "guru" BJ Habibie yang lain.

Se-asyik itulah kehidupan masa kecil BJ Habibie sesuai bayangan saya setelah membaca beberapa kisah hidup sang mantan presiden.

Turunkan Ego Orang Tua
Kegemaran bertanya bukan hanya dimiliki Pak Habibie semasa kecilnya, tetapi hampir semua anak-anak. Umumnya pertanyaan yang diajukan anak-anak bukan hanya sekali atau dua kali. Sebuah penelitian yang dilakukan di Inggris menghasilkan kesimpulan bahwa setiap anak bisa mengajukan pertanyaan hingga 73 macam pertanyaan dalam satu hari.

Di antara sedemikian banyak pertanyaan anak-anak, besar kemungkinan adanya pertanyaan yang sulit dijawab. Atau kita mendapati hal-hal "tabu" untuk dibicarakan dengan anak-anak. Atau mungkin pertanyaan-pertanyaan mereka ringan saja dan gampang dijawab, tetapi nyambung terus ke pertanyaan-pertanyaan berikutnya seperti tak akan ada habisnya. Tentu pusing kepala orang tua menghadapi kondisi semacam ini.

Perihal pentingnya orang tua meladeni pertanyaan-pertanyaan anak, rasanya sudah banyak orang tua yang mengamini. Salah satu indikasi yang menunjukkan hal ini terlihat pada banyaknya artikel dan opini yang membahas cara-cara menjawab pertanyaan yang "aneh-aneh" dari anak-anak.

Urusan pentingnya buku dalam pendidikan anak pun, sepertinya sebagian besar orang tua telah memakluminya. Dan banyak referensi yang bisa kita cari. Simbah kita, Google, akan dengan senang hati membeberkannya untuk Anda.

Namun sebelum sampai kepada persoalan cara menjawab pertanyaan anak-anak, sudahkah kita memiliki kemauan untuk melakukannya? Apakah kita cukup berbesar hati untuk tidak merasa terganggu dengan pertanyaan anak-anak saat kita sedang dalam "urusan yang penting"? Apakah kita sanggup menempatkan pertanyaan-pertanyaan anak-anak yang kelihatan receh itu di atas urusan pekerjaan misalnya?

Saya kira bukan sebuah persoalan yang gampang. Saya juga sering mengalami kondisi demikian. Acap kali terjadi pergulatan batin ketika terdapat benturan kepentingan antara membersamai anak dengan urusan penting lainnya.

Jika mengingat dampak jangka panjang terhadap masa depan anak-anak, alangkah baiknya orang tua memberikan perhatian yang memadai atas urusan ini. Jika yang menjadi persoalan adalah masalah teknis seperti kurangnya pengetahuan akan bab-bab yang ditanyakan anak, mungkin bisa disiasati dengan meminta waktu guna mencari referensi. Mudah-mudahan Mbah Google memiliki kunci jawabannya.

Yang lebih menjadi persoalan adalah ego kita para orang tua ketika menjadikan pertanyaan anak-anak sebagai hal remeh-temeh yang bisa kita anggap angin lalu. Atau jangan-jangan kita malah menghardiknya, "Udah main sana! Ayah lagi sibuk nyiapin presentasi untuk besok pagi!"

Referensi: 1 dan 2.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun