Sebab saluran utama penerbitan dan penyebaran hoaks adalah media sosial yang berwujud tulisan-tulisan, selain gambar dan video. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa di antara sebagian orang kemelekan aksara digunakan untuk menebar keburukan.
Lalu lintas materi yang nyaris bebas berkeliaran tanpa hambatan di media sosial memudahkan para pembuat dan penyebar hoaks merajalela. Etika buruk orang-orang yang terlibat dalam kegiatan ini amat menyuburkan peredaran hoaks.
Salah satu bukti buruknya etika sebagian pengguna media sosial bisa dilihat melalui mesin pencari google. Hampir setiap kali mencari data atau informasi mengenai suatu hal.
Saya selalu menemukan belasan atau bahkan puluhan dan bisa jadi ratusan artikel yang sama persis atau sangat mirip tersebar di berbagai situs atau blog. Dan orang-orang ini tak memiliki itikad baik untuk menyebutkan sumber tulisan yang mereka tayangkan.
Upaya mencari popularitas atau materi secara gampang dan instan agaknya telah menjadi "pandangan hidup" banyak orang. Tak perlu heran jika kemudian iklan cara-cara instan untuk menggandakan berbagai hal termasuk melonjakkan pengikut dalam dunia maya menjadi marak.
Tingkat Literasi
Berbeda dengan angka melek aksara yang semakin tinggi, tingkat literasi penduduk Indonesia hingga kini masih berada pada tingkat dasar.Â
Berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.
Memang ada perbedaan pengertian antara kemampuan membaca dan kemampuan literasi seseorang. Literasi lebih mengarah kepada minat. Seseorang yang bisa membaca belum tentu memiliki minat baca yang memadai.
Salah satu definisi 'literasi' yang termuat dalam KBBI adalah kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Definisi ini jelas menunjukkan bahwa literasi tidak sekadar kemampuan membaca. Â