Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Dengan Bahan Baku Melimpah, Masihkah Kita Enggan Menulis?

19 Juni 2019   05:58 Diperbarui: 20 Juni 2019   12:22 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pixabay.com

"Bahan mentah karya-karya besar hanyut mengapung mengitari dunia, menunggu untuk dibungkus dengan kata-kata." 

Kalimat di atas dirangkai oleh Thornton Wilder, seorang penulis Amerika, yang saya nukil dari salah satu edisi serial "Chicken Soup for the Soul". Dalam karier kepenulisannya, Wilder pernah memenangkan tiga Hadiah Pulitzer atas novel dan naskah drama yang dihasilkannya.

Sebuah kalimat yang memberi ruang sangat lebar untuk bernapas dan berharap bagi para (calon) penulis. Menilik kalimat Wilder, rasanya tak perlu ada kekhawatiran para penulis bakal kekurangan bahan baku untuk menulis.

Kata "hanyut" dan "mengapung" mengindikasikan bahan-bahan itu tidak bertuan atau setidaknya telah lepas dari tuannya. Maka, umumnya kita bisa mencomotnya tanpa harus memberikan bayaran, bahkan mungkin tidak perlu meminta ijin kepada siapa pun.

Tinggal kita yang dituntut untuk aktif menjemput mereka.  Kita hanya harus menyiapkan bahan pembungkusnya berupa kata-kata sesuai keinginan dan kemampuan kita. Kemudian kita bisa mengolahnya dengan berbagai "resep" dan "bumbu" yang kita miliki dan segera menyajikannya di lapak-lapak yang telah banyak tersedia.

Banyak penulis lain juga mengungkapkan hal senada dengan yang dikatakan Wilder. Intinya, bahan baku atau ide menulis terserak di sekitar kita dalam berbagai wujud.

Kecemasan yang Tak Perlu
Saya termasuk penghobi menulis yang sering merasa cemas akan mampatnya ide menulis. Salah satu unsur writer's block yang harus segera diatasi.

Target penulisan artikel yang saya canangkan masih sering tak tercapai sehingga harus kerap saya revisi. Dengan kalimat inspiratif yang saya cuplik dan saya tempatkan sebagai pembuka artikel ini, Wilder cukup berhasil mengurangi tingkat kecemasan saya.

Saya bisa memberikan beberapa contoh melimpahnya ide menulis yang belum lama ini saya temui. Sebagian di antara bahan baku menulis yang saya dapatkah telah menjelma menjadi berbagai jenis tulisan di Kompasiana. Ada yang tayang sebagai tulisan fiksi dalam bentuk puisi dan cerpen, ada pula yang menjadi artikel non fiksi.

Contoh pertama, dalam perjalanan mudik yang singkat beberapa waktu lalu, cukup banyak ide mencuat baik yang saya temui sepanjang perjalanan maupun dalam kegiatan silaturahmi. Sejak perjalanan mudik masih berwujud niat, saya sudah mendapatkan satu bahan tulisan tentang pelaksanaan sunnah Rasul terkait salat Idul Fitri. Bahan mentah itu telah saya masak dan saya sajikan menjadi artikel Sosbud di sini.

Kemudian dalam aktivitas silaturahmi, saya berjumpa dengan sepasang suami istri yang inspiratif. Dari kejadian ini, saya menelurkan dua artikel Sosbud, yang saya tayangkan di sini dan di sini. 

Selain itu, masih berkaitan dengan tema Lebaran, saya juga telah menghasilkan dua tulisan lain dalam kategori Karir dan Transportasi yang telah saya tayangkan di Kompasiana seminggu terakhir ini. Alhamdulillah, keduanya terpilih sebagai Artikel Utama. Jadi setidaknya saya mendapatkan lima bahan mentah sepanjang proses mudik, silaturahmi hingga kegiatan pasca Idul Fitri yang menghasilkan karya nyata berwujud artikel di Kompasiana.

Akan menjadi jauh lebih banyak lagi bahan baku yang saya temui dalam periode perayaan Idul Fitri yang tak sempat mewujud sebagai tulisan siap saji. Misalnya saja ide tentang budaya membakar petasan yang saya saksikan di beberapa tempat. Ide itu sempat mengemuka, tetapi gagal tayang karena saya tidak berhasil mengumpulkan referensi yang cukup. Daftar bahan mentah akan menjadi sangat panjang bila saya mengingat sekian banyak ide yang sekelebat lewat tanpa saya sempat menangkapnya.

Contoh kedua adalah ide yang muncul di bulan Ramadan. Sepanjang bulan suci, setidaknya saya telah menulis di Kompasiana sebanyak 14 artikel dalam berbagai kategori baik fiksi maupun non fiksi. Dalam hal ini cukup besar peranan Kompasiana memotivasi saya menuliskan ide-ide tersebut dengan program THR-nya.

Jumlah tulisan ini tentu amat sedikit dibandingkan banyak Kompasianer lain yang bisa saban hari menayangkan artikel. Bahkan saya juga mendapati beberapa Kompasianer menyumbang lebih dari satu artikel dalam sehari.

Masalahnya Bukan pada Ketersediaan Ide
Masalah berikutnya adalah kemauan dan kemampuan untuk menangkap dan mengolahnya hingga tersaji sebuah tulisan yang layak dikonsumsi masyarakat. Kemampuan yang seadanya tentu saya telah memilikinya. Terbukti dengan cukup banyaknya artikel yang terserak di Kompasiana sejak setahun yang lalu.

Persoalan teknis tidak terlalu menjadi masalah sepanjang kita tidak perfeksionis. Banyak praktisi penulisan yang menyarankan untuk berani menulis meskipun belum banyak menguasai teknis kepenulisan. Saya sendiri tidak terlalu memikirkan kualitas tulisan, meskipun tidak asal-asalan dalam menulis. Masalah pilihan antara kuantitas dan kualitas teknis sebuah tulisan semacam ini pernah saya babar di sini.

Saya kira kini jika masih ada masalah juga, maka masalah terbesarnya terletak pada kemauan. Sebuah kalimat bijak yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk karena hujan bisa menjadi sarana motivasi bagi kita untuk memulai dan terus menghasilkan tulisan. 

Kalimat bijak yang sering disebut dengan istilah keren quotes itu berbunyi, "Selama ada kemauan, selalu tersedia jalan."

Referensi: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun