Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Meriam Bambu

30 Mei 2019   23:44 Diperbarui: 31 Mei 2019   00:02 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: tribunnews.com

Anto menghela napas dalam-dalam. Raut mukanya menunjukkan adanya tekanan berat yang tengah menggelayuti hatinya. Ia baru saja usai membaca sebuah warta tentang perundungan seorang anak oleh teman-teman sekelasnya di sebuah SMP.

Dengan tangan yang lunglai, ditaruhnya gawai yang baru saja digunakan untuk membaca berita dari sebuah media daring, di meja kecil di samping tempat duduknya. Detil peristiwa perundungan yang disaksikannya dalam video yang merupakan attachment berita perundungan itu masih membayangi benaknya. Memang mereka tidak sampai melakukan penganiayaan secara fisik, tetapi kalimat-kalimat verbal yang amat merendahkan mengucur deras dari mulut belasan anak-anak bau kencur itu.

Pria yang menjabat sebagai manajer keuangan pada sebuah perusahaan perdagangan barang-barang perlengkapan kantor itu memang membiasakan diri membaca beberapa berita di pagi hari menjelang memulai aktivitas kerja di kantornya. Biasanya ia lebih suka membaca berita-berita ekonomi karena sesuai dengan minat dan bidang pendidikannya. Selain ekonomi, ia sedikit membaca berita politik, karena berita politik suka menggelitik dengan kejadian-kejadian ganjil dan komentar-komentar para politisi yang bikin nalar terbolak-balik. Entah kenapa pagi ini ia tergoda untuk meng-klik sebuah tautan berita perundungan.

Anto teringat akan anak-anaknya. Ia tak mampu membayangkan bila perundungan itu menimpa salah satu di antara dua anak-anaknya yang kini berusia sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Ia memejamkan matanya rapat-rapat. Bayangan wajah mengiba bocah korban perundungan itu melintas lagi di benaknya.

***

Masa kecil Anto dihabiskannya di sebuah dusun tak jauh dari lereng Merapi. Salah satu kesukaannya di masa kecil adalah bermain meriam bambu, yang dalam bahasa dusun setempat biasa disebut long bumbung alias petasan bambu. Meriam bambu terbuat dari sebilah bambu utuh, artinya tidak dibelah, kira-kira sepanjang satu setengah hingga dua meter. Satu ruas pada pangkalnya dibiarkan tertutup, sedangkan ruas-ruas lainnya dilubangi.

Pada salah satu sisi yang dekat dengan pangkalnya, sedikit di atas ruas yang tidak dilubangi, dibuat sebuah lubang picu kecil sebagai tempat menyalakan si meriam bambu. Dasar bambu diisi genangan minyak tanah hingga jarak antara permukaan minyak dengan lubang picu sekira 5 cm. Bila lubang picu disulut dengan api, maka "Bum!", meriam kampung itu pun menyalak.

Dalam kondisi siaga, posisi petasan bumbung serupa meriam yang biasa dipakai serdadu Belanda dalam memerangi pejuang negeri kita di masa pergolakan. Pangkalnya menempel di tanah, sementara ujungnya mendongak ke udara. Untuk menaikkan ujungnya, biasanya anak-anak menempatkannya di bagian tanah yang menonjol ke atas, atau di pematang bila permainan dilakukan di sekitar sawah atau ladang. Sudut kemiringannya berkisar 20 hingga 30 derajat.

Anto kecil bersama teman-teman sebayanya biasa bermain perang-perangan menggunakan meriam bambu bak pejuang kemerdekaan melawan serdadu penjajah.  Meriam bambu berperan sebagai senjata yang seakan-akan menembakkan peluru ke lokasi persembunyian musuh, meskipun sebenarnya yang keluar dari piranti permainan tradisional yang nyaris punah itu hanyalah suara berdentum dengan sedikit asap yang mengepul.

Permainan meriam bambu ramai dimainkan anak-anak kampung di bulan Ramadan. Semakin mendekati Idul Fitri, semakin ramai. Anak-anak memainkan perang meriam bambu di malam hari. Biasanya selepas Tarawih. Sering juga dilanjutkan seusai makan sahur sembari menunggu azan Subuh. Lingkungan yang gelap membuat warna semburan api di ujung meriam yang merah tampak menyala terang. Selain itu, suasana yang senyap membikin suaranya makin terasa menggelegar.

Adegan selanjutnya, selepas suara dentuman terdengar, mereka saling melontar kebanggaan diri dan kelompoknya atau menyemburkan olokan bagi kelompok lawannya. Bunyi debum yang keras membahana dari meriam bambu menjadi satu hal yang amat membanggakan. Sebaliknya, kegagalan memunculkan suara yang dahsyat, istilah mereka waktu itu mejen, merupakan bahan utama ujaran-ujaran negatif untuk menjatuhkan mental lawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun