Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cara Aneh Mengoleksi Buku

22 Mei 2019   16:17 Diperbarui: 1 Juni 2023   15:31 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: tribunnews.com

Zaman dulu, semasa saya kuliah puluhan tahun lalu, ada seorang teman saya yang mengaku suka mengoleksi buku. Tolong jangan membayangkan koleksi buku yang gimana gitu. Yang saya maksud dengan koleksi buku dalam dunia kami kala itu adalah beberapa gelintir buku yang terpajang di sebaris atau dua baris rak kayu yang menempel di dinding kamar kos.

Sejak awal kuliah hingga kami berpisah mencari penghidupan masing-masing seusai menerima gelar, bentuk koleksi buku teman saya tak banyak berubah. Seluruh buku yang mengisi raknya berasal dari lapak-lapak buku bekas. Ciri lain buku yang digandrunginya berdimensi cukup tebal.

Suatu saat saya bertemu dengannya di suatu tempat dalam perjalanan pulang dari kampus. Ketika itu ia tengah memilih-milih buku second yang dijual seseorang di pinggiran kampus. Sang penjual menggelar buku-buku dagangannya di atas bak terbuka sebuah mobil pick up.

Saya tidak akan membahas perdagangan buku, termasuk penjualan buku bekas. Saya hanya akan mengulas sedikit saja sebuah bahasan yang berkaitan dengan minat membaca buku. Ide ini terlintas ketika saya mengingat sebuah kejadian agak ganjil yang dilakukan teman yang menjadi pelaku utama dalam cerita ini.

Ketika saya temui, rekan saya ini sedang mengais-ngais tumpukan buku bekas yang tak beraturan mencari buku yang diinginkannya. Yang menarik perhatian saya, ia melakukannya dengan cara yang tidak biasa.

Tak sekalipun saya melihat ia membuka-buka lembaran buku, atau membaca sinopsis di bagian sampul belakang buku, atau mengamati daftar isi pada bagian awal buku. Kalau pun ada tulisan yang dibacanya dalam buku itu, barangkali judulnya saja.

Mulanya, ia melayangkan pandangan matanya ke seluruh penjuru bak mobil itu. Ulahnya bagaikan seorang bajak laut tengah mencari mangsa. Dengan satu sisi matanya yang terbuka, si penyamun meneropong seluruh permukaan laut di sekitar kapalnya.

Saat pandangan mata kawan saya itu menemukan sebentuk buku yang sepintas diminatinya, tangannya segera terulur untuk meraih buku idamannya. Air mukanya memancarkan kegembiraan.

Awalnya saya mengira ia akan mengintip halaman demi halaman buku yang dicomotnya untuk mengetahui materi buku itu. Barangkali ia sedang membutuhkan bahan tertentu untuk dipelajarinya. Atau mungkin tengah mencari referensi yang cocok sebagai pelengkap tugas dari dosennya.

Namun ia tidak melakukan hal seperti yang saya duga. Mengamati caranya memperlakukan buku di tangannya, ia tampak tidak sedikit pun membutuhkan isi buku itu.

Kesimpulan ini saya ambil setelah saya menyaksikan kawan saya ini kelihatan tidak tertarik untuk membaca isi buku sama sekali. Ia hanya mengamati bagian depan sampul buku, lalu beralih ke sampul belakangnya. Bagian samping juga dilihatnya. Dalam beberapa kali mengambil buku, ia melakukan hal yang sama.

Dengan cara yang "tak masuk akal" itu, akhirnya ia mendapatkan satu jilid buku yang dikehendakinya. Sebagaimana buku-buku yang telah dimilikinya, buku ini pun cukup tebal ukurannya. Ia pun mengajak saya bergegas pergi setelah menyodorkan sejumlah uang sebagai pembayaran buku yang akan menambah koleksi di kamar kosnya.

Saat saya tanyakan buku apa gerangan yang ia beli, hanya seulas senyum yang menjadi jawabannya. Ditambah sebuah kalimat singkat, "Tak penting." Sebuah metode memilih buku yang cukup aneh, bukan?

Pengakuannya kepada saya kemudian menjelaskan semua keanehan yang membuat saya heran. Ia menyatakan bahwa tampilan luar buku yang langsung terlihat mata menjadi pertimbangan utamanya dalam menentukan buku yang akan dibelinya. Ia sangat peduli dengan tingkat ketebalan buku dan kondisi sampulnya.

"Biar rak bukuku kelihatan keren," demikian ucap teman saya itu sembari tersenyum puas. Saya tidak memungkiri bahwa saya juga mempunyai pemikiran serupa dengan kawan saya. Saya pun ingin terlihat "pintar" dengan menyimpan beberapa buku tebal di kamar kos. Namun ada "tapi"-nya. Setidaknya dua.

Yang pertama, saya tidak melakukannya semasa saya kuliah. Sepanjang saya menempuh pendidikan tingkat strata satu, saya tak sempat berpikir untuk membeli buku dengan tampilan keren. Bukan karena saya tidak ingin melakukannya. Jangankan yang keren, buku bekas yang lusuh dan bersampul kumuh pun nyaris tak tersentuh.

Ketika itu saya lebih banyak mengandalkan perpustakaan fakultas untuk mengais ilmu dan menyelesaikan tugas kuliah. Karena ia tak pernah menuntut apa-apa selain hanya meminta saya menunjukkan selembar kartu anggota.

Yang kedua, faktor tampilan fisik yang keren bukan satu-satunya alasan dan juga bukan alasan yang utama. Pertimbangan utama membeli buku tetap pada materinya. Pertimbangan kedua terkait harga. Baru yang ketiga, rupa alias tampilan fisiknya. Sesekali saja urutannya bergeser. Dan hal itu baru bisa saya lakukan setelah saya berstatus pegawai sebuah perusahaan.

Yang senyatanya terjadi pada diri saya semasa mahasiswa, nyaris tak satu pun buku yang saya punya. Sebab untuk memenuhi kebutuhan perut seringkali duit tak cukup. Untuk bahan bacaan, cukuplah dari buku pinjaman.

Selalu ada kearifan yang bisa kita petik dari setiap keadaan. Salah satu hikmah yang saya dapatkan dalam kondisi demikian, saya tak perlu pusing-pusing memilih buku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun