Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekadar Penanda Waktu

7 Mei 2018   12:50 Diperbarui: 7 Mei 2018   12:53 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Kita mengenal beberapa macam penanda waktu. Ada yang langsung dari alam dan ada pula buatan manusia. Yang sudah tersedia di alam raya seperti matahari dan bulan. Yang bikinan manusia berwujud jam mulai jam matahari, jam pasir hingga jam digital yang kita kenal hingga kini. Penanda waktu yang lain adalah kalender dengan berbagai model dan bentuk.

Fungsi penanda waktu sudah jelas, mengingatkan manusia akan waktu yang terus berjalan. Ia juga sebagai pengingat bahwa seseorang harus segera bangun dari lelapnya untuk menunaikan rencana yang sudah diagendakan sebelumnya. Ia pun berfaedah bagi seseorang untuk mengetahui sebuah deadline ketika ia harus segera menyudahi upayanya. Atau pun sekadar menandai suatu posisi waktu yang mungkin juga tidak berarti apa-apa karena ia tidak harus berbuat apa-apa atau tidak harus menyelesaikan apa pun. Hanya sekadar tahu saat itu hari apa, tanggal berapa, jam berapa. Ya, cuma sebatas itu.

Ingatkah saat kita minta tolong kepada sang penanda waktu agar ia berdering keras-keras guna membangunkan kita pada waktu tertentu, lalu kita abaikan begitu saja setelah ia taat menunaikan permintaan kita? Sebab kita lebih menyayangi guling kita ketimbang bersegera menyongsong potensi di luar sana?

Memang cuma itulah kewajiban yang harus diemban si penanda waktu. Selanjutnya terserah kita.

Di luar piranti konvensional, orang juga memanfaatkan benda-benda atau kondisi tertentu sebagai penanda waktu. Orang zaman lampau menggunakan peristiwa di sekitar mereka untuk menandai waktu. "Pak Sumardi tidak tahu persis berapa usianya. Setiap ditanya orang tentang umurnya, ia selalu mengatakan bahwa ia lahir beberapa hari setelah banjir bandang melanda desanya."

Dalam konteks canda, ada satu jenis penanda waktu yang sering tak kita sadari. Kehadirannya tak pernah diharapkan. Sebab keberadaannya berarti petaka. Ia adalah  bunyi "brak!" yang menjadi pertanda bahwa seharusnya kita menginjak rem sebelum suara itu hadir.

Kembali ke bahasan serius. Subuh, Zuhur, Asar, Magrib dan Isya juga jamak dijadikan sebagai patokan waktu. Acap kali kita mendengar rencana seseorang atau sekumpulan orang dengan merujuk kepada waktu-waktu salat. "Kita rapat habis Zuhur ya?". Itu satu contoh.

Ketika mendengar kumandang azan, akankah kita segera beranjak untuk sejenak meninggalkan urusan dunia? Atau ia hanyalah referensi waktu bahwa saat itu telah masuk waktu Subuh, Zuhur, dan seterusnya? Apakah kita hanya akan memperlakukannya sekadar sebagai penanda waktu?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun