Dalang Jemblung, namanya sedikit asing dan ternyata memang kesenian yang sudah semakin tergerus oleh perkembangan zaman. Pantaslah beberapa orang kurang paham apa itu Dalang Jemblung seperti saya sendiri yang baru pertama kali mengetahuinya.
Rasa penasaran itu terjawab, ketika Komunitas Teater dan Sastra Perwira (Katasapa) Purbalingga berhasil mendapatkan kesempatan dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DI Yogyakarta. Program yang diusulkan Katasapa Purbalingga berhasil masuk 30 proposal terpilih dari 122 proposal yang masuk.
Program yang diajukan yakni Workshop Teater Tradisional Dalang Jemblung dengan narasumber Ki Kusno, seorang dalang sekaligus pendidik dari Kabupaten Purbalingga.Â
Acara workshop berlangsung 21 - 22 Mei 2022 bertempat di Umah Wayang Kemukusan, Desa Selakambang, Kecamatan Kaligondang. Ada 20 orang yang mengikuti kegiatan workshop ini dengan berbagai profesi dan latar belakang.Â
Workshopnya menyenangkan, banyak materi baru yang saya dapatkan, terlebih ketika sudah mulai praktiknya. Dalang Jemblung ini tidak sendiri tapi lebih dari satu orang.Â
Jumlah pemainnya disesuaikan dengan naskah yang akan dipentaskan. Yang membuat berbeda dari dalang pada umumnya, Dalang Jemblung tidak menggunakan wayang, peraganya hanya menggunakan sajian yang ada dihadapannya.
Tak hanya itu, iringan musiknya tanpa menggunakan alat musik gamelan atau hanya menggunakan siter. Iringan musik berasal dari suara vokal para pemainnya atau serupa dengan acapella. Suara vokalnya meniru alat musik gamelan atau pengrawit yang biasa digunakan sebagai iringan. Ada yang menirukan suara kendhang, kethuk, gong, bonang dan yang lain.
Dalangnya menarasikan tentang cerita yang akan disampaikan sesekali diiringi dengan nyanyian atau tembang macapat bersamaan dengan sinden. Pemain yang lainnya duduk setengah lingkaran atau melingkar, blockingnya menyesuaikan dengan pementasan. Tidak jauh berbeda sebetulnya ketika bermain teater.
Lebih menariknya lagi di tengah-tengah para pemain ada sajian semacam tumpeng yang isinya kuraban (serundeng, kecambah, jeroan) sebagai lambang kekhusyuan.Â
Kemudian ada pachetan yang terdiri dari ketan, jenang, wajik, opak, ampyang sebagai lambang sebutan. Lalu ada pisang sebagai lambang secepatnya, air putih sebagai lambang hati yang jernih dan dawegan atau kelapa hijau sebagai lambang rasa syukur.
Sajiannya ini bukan untuk sesajen atau hiasan semata tapi bisa dinikmati oleh para pemainnya. Kalau pemain merasa haus dan ingin minum bisa langsung meminumnya saat pementasan berlangsung.
Ini menjadi pengalaman yang luar biasa biasa belajar sekaligus mempraktikan Dalang Jemblung dengan cerita "Kumbo Karno Nyuwarga" dan "Umar Maya Kembar Lima". Dalang Jemblung ini memang butuh regenerasi terutama mereka generasi muda agar tetap lestari dan tidak punah termakan waktu. Salam Budaya!!! (Lilian Kiki Triwulan)