Mohon tunggu...
Likke Andriani
Likke Andriani Mohon Tunggu... Lainnya - Generalis dinamis dengan latar belakang tehnik kimia, senang membaca mencoba mulai menulis untuk keseimbangan. Hobi: backpacking, naik gunung, jalan kaki, snorkeling dan kuliner.

"Jobs fill your pocket, but adventures fill your soul". "The world is a big playground - a lot to discover"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengenal Xi Jinping, Nomer Satunya Cina

6 Juli 2020   06:04 Diperbarui: 6 Juli 2020   06:05 6822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diolah dari sohu.com

Xi melakukan itu berdasarkan nilai ideologisnya. Di awal karier politiknya, dia memilih Hebei, provinsi miskin yang jauh dari kenyamanan daerah pesisir yang kaya. Tempat yang cocok untuk menyiksa diri. Dia bekerja keras selama 25 tahun disana, berkomitmen untuk efisiensi dan pembangunan jangka panjang, bahkan dia bersedia bekerja sama dengan Taiwan. Reputasinya adalah tukang bersih-bersih yang menurut standar Cina artinya - memberantas dang menghalangi korupsi.

Mari kita melihat awal karier dan masa muda Xi untuk mengerti kepribadian Xi.

Terlalu merah

"Fokus dan ambisius" kata teman masa kecilnya yang bercerita kepada dinas intelegensi Amerika. 

Mantan istrinya Ke Xiaoming berkomentar yang sama dalam sebuah wawancara yang disensor tahun 2015 di medsos Cina. "Xi orang yang sangat serius, giat dan rajin". Mengingat masa lalu, saya sadar bahwa dia sudah merencanakan kariernya, dan dia melaksanakan rencana-nya secara bertahap. Agak kaku, bukan pria yang romantis. Bekas istrinya sulit memahaminya. Sebagai anak bekas diplomat Cina, bekas istrinya lebih suka hidup di dunia barat. Mereka bercerai setelah 3 tahun bersama, Ke yang mengajukan cerai. "Kamu terlalu serakah dengan kemakmuran barat" kata Xi, tapi mereka tetap menjaga hubungan baik setelah bercerai.

Ini bukan pertama kalinya Xi harus berkorban perasaan untuk melayani idealisme-nya. Ayah Xi juga bekas anggota partai, bekas rekan sekerja Mao. "Dia begitu seringnya menjelaskan tentang revolusi masa depan di telingaku", kata Xi tentang ayahnya, tapi pada masa revolusi kebudayaan (1966-1976), Mao mencap orang tuanya sebagai "reformis, pengkhianat".

Sebagai putra tertua dia juga harus menanggung rasa malu, dia dihukum oleh polisi harus mengenakan topi besi sehingga kepalanya sakit dan luka. Mereka mengejeknya sepanjang jalan dan ibunya juga harus ikut mengejek jika tidak mau dihukum. 

Suatu malam, ketika Xi mengetuk pintu rumah, kelaparan, ibunya membanting pintu menolak dia masuk untuk melindungi adik-adik Xi, takut adik-adiknya juga ikut dihukum. Remaja berusia 15 tahun itu akhirnya memutuskan secara sukarela masuk ke "kamp pendidikan ulang" di provinsi Shanxi yang sangat miskin. Tidak ada harapan kebahagiaan baginya di Beijing.

Selama 7 tahun dia bekerja sosial di Yanan, tempat awal kariernya. Petani disana sangat miskin, saking miskinnya mereka akan menegurnya jika dia membuang-buang roti tua untuk anjing jalanan. 

Dia harus tidur diantara kutu. "Ketika saya meninggalkan Beijing, saya seperti orang tersesat" katanya suatu kali. "Tahun-tahun di Yanan mengembalikan rasa percaya diri saya, menghubungkan saya dengan sesuatu yang sakral. Kemanapun saya pergi, saya akan tetap menjadi putra tanah kuning Yanan" Sebagai seorang yang dianggap tidak berarti waktu itu,  dia harus melamar sampai sepuluh kali untuk bisa diterima menjadi anggota komunis Cina, 9 kali merasakan kekecewaan penolakan. 

Seperti karikatur film propaganda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun