Mohon tunggu...
Likke Andriani
Likke Andriani Mohon Tunggu... Lainnya - Generalis dinamis dengan latar belakang tehnik kimia, senang membaca mencoba mulai menulis untuk keseimbangan. Hobi: backpacking, naik gunung, jalan kaki, snorkeling dan kuliner.

"Jobs fill your pocket, but adventures fill your soul". "The world is a big playground - a lot to discover"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kerusuhan Ras, Memahami Kekerasan Tiada Akhir di Sejarah Amerika

7 Juni 2020   23:41 Diperbarui: 11 Juni 2020   00:44 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di buku sejarah Amerika, masa itu disebut "The Great Migration", masih dipandang sebagai perpindahan sukarela untuk mencari kehidupan ekonomi yang lebih baik, padahal banyak bukti sejarah yang menunjukan alasan utama mereka pindah yaitu melarikan diri.

Kennedy, the King and Lyndon B.Jhonson
Di tahun 1962, pemerintah USA yang waktu itu dipimpin oleh John F. Kennedy (JFK) menyetujui pengesahan UU sipil baru yang dibuat oleh Lyndon B. Jhonson, yang isinya memberikan kaum kulit hitam hak yang sama dengan kaun kulit putih. Penetapan UU ini jelas memicu kerusuhan, sekaligus antusiame yang tinggi, harapan baru bagi keadilan.

Tahun 1965, tahun yang kelam. Malcolm X, seorang menteri, Muslim dan aktivis kemanusiaan dibunuh.

Tahun 1968, Martin Luther King dibunuh, tak lama kemudian diikuti oleh pembunuhan presiden JFK/Bobby yang mendukung persamaan hak bagi golongan kulit hitam. Kericuhan terus berlanjut hingga akhirnya, Richard Nixon terpilih menjadi presiden baru oleh mayoritas kaum kulit putih kelas menengah dengan janji dan harapan dia mampu menstabilkan kondisi negara.

Sekarang dan prediksi masa depan
Saat ini, sebagian besar golongan kulit putih kelas menengah hidup dengan rasa takut, takut bahwa dunia yang mereka kenal, akan hilang. 

Diperkirakan pada tahun 2045 golongan kulit putih akan menjadi kaum minoritas di Amerika, sekarang pun sudah terealisasikan di berbagai wilayah dan kota. Kenyataan ini tentunya berbenturan dengan gambaran ideal bahwa nenek moyang mereka-lah yang membangun dan memimpin Amerika.

Beberapa kasus kekerasan ras merupakan pelampiasan balas dendam jika kaum kulit hitam hidup berhasil. Orang kulit hitam boleh berhasil, tapi tidak boleh lebih maju daripada kita, kaum kulit putih. Dari awalnya iri-dengki, akhirnya tumbuh rasa benci.

Hal ini dirasakan oleh Stacey Hopkins, seorang aktivis BLM (Black Lives Matter). Sewaktu Barack Obama baru terpilih jadi presiden, bahkan di supermarket pun ada saja orang kulit putih yang menatapnya dengan pancaran rasa marah, iri atau benci. 

Perasaan ini yang mendorong mereka berbondong-bondong memilih Donald Trump sebagai presiden yang sekarang. Tentu saja selalu ada harapan katanya. Stacey melihat bahwa anak-anak muda 20-an umumnya sudah menerima golongan kulit hitam sebagai sederajat, mudah-mudahan pandangan mereka tidak berubah jika mereka tua, katanya.

Ketika presiden Amerika yang sekarang, Donald Trump menyerukan slogan dengan bergebu-gebu "Let's make America great again (Mari kita menjayakan kembali Amerika)", ironisnya warga kulit hitam justru menanggapinya "Do we ever be great? (Memangnya kapan kita pernah jaya?)".

Menurut Orhan Agirdag, dosen pedagogi KU Leuven & Universitas Amsterdam, Rasisme bukan sifat manusia, rasisme adalah sistem: sistem seleksi yang memisahkan manusia ke berbagai golongan, miskin-kaya, kuat-lemah berdasarkan asal-usulnya. Sistem ini menentukan siapa yang bisa berkuasa. Jika kita ingin menentang rasisme, sistemnya yang harus dihancurkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun