Salah satu keuntungan dari pandemi corona, saya sekarang  punya waktu untuk berkomunikasi dengan teman-teman lama. Dari awalnya cuma "Hi, apa kabar?", ujung-ujungnya  jadi cerita panjang.
Salah satunya Claude, teman kuliah dulu yang tinggal di Belgia, Claude bercerita:
Saya baru pulang dari supermarket. Disana ada seorang wanita menghampirinya, tampa malu-malu berkata 'J'am faim, je veux manger'Â (Saya lapar, mau makan). Walaupun kurang nyaman dengan ketidak sopanannya, tapi karena kasihan dan juga ingin merasa berguna, saya jawab "Ya sudah ambil, saya bayar". Perempuan itu langsung mengambil satu bungkus roti tawar putih ukuran besar.Â
Saya menawarkan roti organik  tapi wanita itu cuma menggelengkan kepala dan  mengambil salami (susis kering).  Saya kepikiran "Dia boleh mengambil apa saja yang dia mau, kenapa pilih makanan yang murah dan kurang bergizi begitu?"
Sambil mengantri di kasa, tiba-tiba  muncul sekilas nostalgia dan saya jadi malu kepada wanita itu. Claude terus bercerita:
"Di rumah kami tidak kekurangan, tidak pernah kelaparan, tidak punya hutang, tapi juga tidak kaya. Semasa mudanya, orang tua saya hemat karena kebutuhan, setelah pensiun mereka hemat karena kebiasaan dan untuk jaga-jaga. Saya jarang melihat mereka pergi ke restoran. Sampai saat ini pun, saya tidak terbiasa pergi ke restoran mahal, ada perasaan kurang nyaman: campuran kepuasan dan rasa bersalah. Walaupun saya mampu bayar, tetap saja kepikiran saya menghianati masa kecil saya. Rasanya lebih bebas makan bloemkool-gratin, masakan ibu saya. Ayah saya seumur hidupnya makan seperti di jaman perang, oleh karena itu saya juga terbawa-bawa hidup hemat.Â
Sekarang saya justru malu terhadap wanita itu, apa hak saya memandang rendah apa yang dia makan?, seumur hidupnya dia terbiasa dengan makanan itu: "makanan orang miskin". Akhir cerita Claude sebelum saya mulai menanggapi ceritanya.
Jujur saja, di pikiran saya muncul nasi panas dengan sambal terasi dan ikan asin, dan tiba-tiba saya jadi lapar.
1) Bloemkool-gratin: masakan khas musim dingin di Belgia, bahan dasarnya kembang kol, telur rebus dan daging asap. Semua bahan dasar dicampur dengan saus putih (campuran terigu, susu, garam-merica dan pala), ditaburi keju dan dipanggang sampai keju mencair.