Mohon tunggu...
Lintang Tanpa Lin
Lintang Tanpa Lin Mohon Tunggu... -

Semakin jauh melangkahkan kaki di tengah jalan bernama "hidup", semakin ingin aku menyuratkannya dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mata dan Punggung Renta

12 Juni 2012   18:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:03 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kemarin sepasang mata jalan di atas kaleng rombeng berisik. Dibawanya ia menyusuri jalan tanah tandus berdinding bunga, beraroma alam. Kalau si mata dipejam, rasa-rasanya bagai mati, tapi kematian yang diharapkan orang-orang. Kalau mata terbelalak, entah kenapa terasa mati, namun mati yang ditakuti.

Dua hal berlawanan disatukan meski yang satu mesti mau mengalah. Dinding bunga yang harus mau menebarkan kelopak-kelopak layunya ke jalan agar ada sedikit corak cantik di atasnya. Lalu apa yang diperbuat oleh tanah yang hanya diam tidak menampik jatuhnya kelopak-kelopak layu tadi? Ia mengikhlaskan apapun yang diberikan padanya meski hanya sisa-sisa hidup sang bunga.

Penderitaan tanah berubah jadi ibanya pada sesosok punggung yang tampak oleng di sudut jalan. Punggung itu sepertinya hampir ambruk ke tanah. Punggung yang harusnya ditopang sepasang rangkaian tulang belulang putih yang kokoh ini malah seperti ditahan oleh telapak kaki lebar yang mulai lemah, ditambah semangat yang nampak dari warna kelabu di kepalanya. Dari jarak yang tak ingin dihitung lagi, punggung itu nampak seperti kekecewaan akan hidup. Si mata tidak tau apa yang dilihatnya hingga ia semakin dekat pada punggung itu. Pada jarak terdekatnya ini, mata tak mampu berkedip lagi karena kekecewaan itu lenyap seketika. Yang dilihatnya kini adalah keyakinan!

Si mata adalah aku. Si punggung adalah dia yang bahkan tidak kuketahui, yang hanya kurang dari 3 menit tampak olehku. Si punggung adalah renta yang masih menunjukkan sisa-sisa ketangguhannya di masa kemerdekaan dulu. Habisnya pelumas di persendiannya mematahkan 2 tulang putih yang dulu menopang tubuhnya, tanpa mematahkan hidupnya. Paling tidak, itu yang kulihat darinya.

Ia berjalan seakan tangkai daun majemuk kelapa yang tertunduk berkabung. Seakan tidak lagi ada jalinan syaraf melilit tulang-tulangnya yang lain, hanya berkerumun pada telapak kakinya. Wajahnya memang menunjukkan satu abad yang telah dilalui dengan derita akan kebahagiaan, tapi langkahnya menunjukkan satu abad sampai deritanya itu jadi bagian dari hidupnya. Sangat biasa..bahkan sampai tidak terasa. Jalanan kasar itu dilaluinya setiap pancar matahari tidak memberi bayangan di bawahnya. Aku tidak bisa menghitung berapa kali hembusan nafas yang dihabiskannya untuk sampai ke tempat ia akan menghentikan telapak kakinya itu. Mau pun tidak!

Ya...aku tidak mau.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun