Beberapa ketidaksepahaman antara Demokrat dengan anggota koalisi Prabowo-Sandi lainnya pun secara berturut-turut dipertontonkan. Kampanye akbar yang digelar koalisi Prabowo di GBK dengan format shalat berjamaah dan berdoa bersama dikritik oleh SBY sebagai gaya kampanye yang tidak inklusif. Merasa kurang dilibatkan dalam konsep acara, SBY punya gagasan lain yang menurutnya lebih tepat untuk konsep kampanye.
Pasca pemungutan suara 17 April 2019, Prabowo bersama para petinggi PKS, Amien Rais dan petinggi di Gerindra lainnya meskipun tanpa sang wakil Sandiaga mendeklarasikan kemenangannya di hari yang sama. Hingga saat ini beberapa deklarasi kemenangan telah dilakukan oleh Prabowo bersama para tokoh pendukungnya. Prabowo memandang adanya kecurangan masif, terstruktur dan sistematis.
Berkali-kali Prabowo menuding KPU sebagai pelaku utama kecurangan yang dianggapnya menguntungkan kubu Jokowi-Ma'ruf dalam perolehan suara. Prabowo mengklaim menyimpan data C1 yang menunjukkan kemenangannya sebesar 62%. Prabowo pun berencana menolak hasil hitung asli versi KPU yang akan diumumkan pada tanggal 22 Mei 2019 nanti. Ijtima Ulama ke-3 pun digelar dengan hasil merekomendasi agar KPU mendiskualifikasi paslon Jokowi-Ma'ruf.
Serangkaian deklarasi dan acara syukuran kemenangan Prabowo-Sandiaga membuat SBY meradang. Upaya mengabaikan konstitusi dan legitimasi lembaga tinggi negara seperti KPU yang dilakukan oleh kubu BPN Prabowo-Sandiaga tidak sejalan dengan harapan SBY. Surat sakti pun meluncur dari SBY kepada para kadernya agar mundur dari aktifitas di BPN.
Bahkan, saat ini aksi tangkis menangkis terjadi antara Demokrat dengan BPN mengenai klaim data C1 yang menunjukkan kemenangan Prabowo-Sandi sebanyak 62%. Ferdinan Hutahaean dari Demokrat menyatakan bahwa angka 62% itu adalah hasil elektabilitas Prabowo sebelum pilpres dari hasil survey internalnya bukan dari data C1 resmi.
Andi Arief melengkapi perseteruan kedua partai dengan pernyataan "adanya setan gundul yang membisiki Prabowo soal kemenangan 62%". Sebagai penonton, saya terbawa dalam keseruan drama ini.
Tapi, cerita punya cerita.. putra SBY Agus Harimurti alias AHY menerima undangan Jokowi untuk silaturahmi ke istana. AHY datang dengan wajah cerah, senyum sumringah dan kemeja batik nan mewah. Gagah dan kharismatik... itu yang terlihat sekilas dari foto-foto yang beredar di media mengenai kunjunga AHY ke Jokowi.
Secara diplomatis AHY memang menyatakan masih terikat dalam kesepakatan politik bersama koalisi Prabowo. Meskipun begitu, AHY menegaskan bahwa dirinya mempercayai KPU sebagai lembaga yang punya kredibilitas. Pembicaraan mereka akrab dengan sesekali AHY duduk dengan posisi agak membungkuk. Apa mungkin ini pikiran saya saja... AHY seperti dalam posisi berharap sesuatu pada Jokowi.
Bukan hanya penampilan dan sikap duduk AHY yang jadi sorotan publik. Sebuah mobil mentereng yang terparkir di halaman istana mengantarkan AHY pada hari itu. Nomor plat mobil B 2024 AHY jadi sorotan dan spekulasi menarik. Mungkin sangat kebetulan jika plat nomor bersamaan dengan tahun digelarnya kembali pilpres 5 tahun mendatang yang digadang-gadang akan jadi ajang tampilnya calon-calon milenial untuk meneruskan kepemimpinan negeri ini.
Sungguh suasana ruang pertemuan yang terbayang nyaman, jauh dari hingar bingar di luar dan jauh dari perang cuitan antar anggota koalisi Prabowo yang menyeret Demokrat terlibat. Saya seperti melihat seorang petugas parkir yang awalnya tak terlihat tetiba muncul menagih uang parkir ketika kendaraan hendak keluar.
Mungkin memang begitulah permainan politik yang cantik, segala upaya bisa dilakukan asal minim dengan resiko. Kalau peluang bisa didapat dari dua sisi, kenapa harus fokus pada yang satunya? Semoga praktek politik semacam ini tidak jadi penyesalan bagi pihak yang kelak akan memimpin negeri ini.